Sejak awal, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah mendukung Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi untuk menata ibu kota. Saat ini, Jokowi sibuk 'safari' ke berbagai tokoh mulai dari Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, hingga Wakil Presiden Boediono untuk merealisasikan proyek monorail Jakarta yang mangkrak bertahun-tahun.
Jokowi sangat berambisi mewujudkan mimpi Jakarta memiliki sarana transportasi massal modern yang diyakini mampu menjadi solusi untuk mengurai masalah kemacetan ibu kota.
Di saat Jokowi dipusingkan dengan ketidakjelasan nasib proyek yang ditangani oleh Jakarta Monorail dan mundurnya Adhi Karya dari proyek tersebut, tiba-tiba perusahaan milik Jusuf Kalla melakukan ekspansi dengan berniat membeli sebagian besar saham Jakarta Monorail.
Jika proses akuisisi tersebut berjalan, maka Kalla Group akan menjadi penggarap proyek monorail. "Otomatis, mereka (Kalla Group) akan menggarap proyek ini," ungkap juru bicara PT Jakarta Monorail Bovanantoo kepada merdeka.com di Jakarta, Jumat (11/1).
Bovanantoo menuturkan, Jakarta Monorail tidak ragu jika Kalla Group ikut ambil bagian dalam menggarap mega proyek transportasi massal tersebut. Alasannya, kalla Group sudah teruji menggarap proyek-proyek besar, terutama di kawasan timur Indonesia.
"Mereka sudah cukup memahami dan menguasai bisnis ini, jadi pasti siap," katanya.
Dia menambahkan, rekam jejak proyek yang digarap oleh Kalla Group juga cukup berhasil. Termasuk proyek infrastruktur transportasi modern. "Kami anggap Kalla Group cukup berhasil di dunia infrastruktur. Sebelumnya kan mereka juga mengajukan untuk monorail Makassar," paparnya.
Proyek monorail dimulai pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, sekitar 2004. Namun sejak pergantian presiden dan gubernur, periode Fauzi Bowo, proyek tidak diteruskan hingga kini. Lihat saja jejak proyek ini di Jalan Asia Afrika (Senayan) dan Jalan Rasuna Said (Kuningan). Di sana menyisakan tiang beton dan kolom mangkrak.
Proyek ini sesungguhnya sudah digagas sejak awal 2000-an. Penggagas studi kelayakan adalah PT Indonesian Transit Central (PT-ITC). Salah satu pemegang saham ITC adalah PT Adhi Karya. Transportasi monoraail ini semula dirancang hendak menggunakan teknologi Jepang.
Sistemnya meliputi kereta, listrik, sinyal, komunikasi, dan urusan tiket berbiaya USD 424 juta, plus biaya pegawai USD 235 juta. Sehingga total biaya mencapai USD 659 juta atau setara Rp 6,5 trilliun.
Dua jalur lintasan kereta dirancang sepanjang 24 kilometer dengan 27 stasiun, yaitu lintasan Green-line sepanjang 14,275 kilometer, membentang dari Palmerah, Gelora Bung Karno, Casablanca, Dukuh Atas, Karet, dan Pejompongan. Lintasan kedua, Blue-line sepanjang 9,725 kilometer, mulai dari Kampung Melayu, Tebet, Casablanca, Karet, Tanah Abang, Cideng, dan Taman Anggrek.
Setelah rancangan desain lintasan disetujui Pemerintah DKI, kemudian ITC bekerja sama dengan Omnico Singapore Pte menghasilkan PT Jakarta monorail (PT-JM). Kesepakatan keduanya, Omnico wajib mencari dana pembiayaan selama enam bulan. Sayang, Omnico tidak berhasil mendapat dukungan. Walhasil, monorail pun mangkrak.
Konsorsium BUMN yang digawangi oleh Adhi Karya berambisi 'menguasai' proyek ini. Mereka memilih tidak ingin bersinergi dengan perusahaan swasta dan ngotot agar proyek ini murni digarap oleh perusahaan-perusahaan pelat merah. Padahal, Jokowi sendiri meminta agar Adhi Karya akur dengan Jakarta Monorail agar proyek ini tidak sebatas angan.
Adhi Karya pun akhirnya memutuskan untuk mundur dan meminta Jakarta Monorail mengembalikan aset yang selama ini sudah dikeluarkan Adhi Karya untuk proyek tersebut.
Sumber : merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar