'Demam' Jokowi tak hanya melanda Indonesia. Popularitasnya yang melesat bak meteor juga menjadikan Gubernur DKI Jakarta itu perhatian di mancanegara. Bahkan sampai dijuluki 'Obama-nya Jakarta'. Setelah warga Malaysia yang terang-terangan mendambakan sosoknya, harapan yang sama juga disampaikan seorang warga India.
Dalam artikel berjudul, 'In search of the Indian Jokowi' -- ''Mencari Jokowi-nya India' yang dimuat dalam situs media The Hindu, Pallavi Aiyar membuka tulisannya dengan menyebut, karakter tokoh yang bakal tampil dalam pemilu di Indonesia tahun depan amat mirip dengan aktor utama dalam drama politik India -- yang juga menggelar pemilu pada 2014.
Kecuali satu hal: Jokowi.
"Dibandingkan India, demokrasi di Indonesia terbilang muda. Baru 15 tahun setelah jatuhnya Soeharto pada 1998. Namun meski baru, demokrasi di sana paralel dengan India dalam hal kekacauan dan penuh semangatnya," tulis Pallavi Aiyar dalam artikelnya. "Berisik. Demonstrasi politik, serikat buruh yang blak-blakan, dan pers yang bebas dan tegas. Indonesia juga punya motto: Bhinneka Tunggal Ika, yang menggarisbawahi tujuan dua negara untuk menyatukan etnis, agama, dan bahasa yang beragam."
Dua negara, tambah dia, juga punya pemerintahan koalisi, yang seringkali tak berhasil. Dan menghadapi masalah yang sama, dari korupsi yang merajalela, Infrastruktur yang tak memadai, kesenjangan sosial, dan degradasi lingkungan.
Para aktor politiknya juga sama: pewaris dinasti politik, orang kuat yang cenderung otoriter, pengusaha besar atau taipan, atau tokoh agama berpengaruh.
"Namun, Indonesia punya sesuatu yang tak dimiliki India: Pendatang baru politik berusia 52 tahun, Joko Widodo --tubuh ramping, rendah hati, dan Gubernur DKI Jakarta yang sangat populer," kata Pallavi Aiyar.
Dia menambahkan, meski belum mendeklarasikan sebagai kandidat, sejumlah polling menunjukkan keunggulannya sebagai calon presiden mendatang.
Meski, soal pengalaman, Jokowi belum pernah punya jabatan politik level nasional. "CV-nya hanya berisi 2 jabatan, sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta."
Disamakan dengan Obama
Jokowi juga bukan seorang pewaris dinasti politik. Ayahnya adalah tukang kayu, sebelum terjun ke politik tahun 2005, dia adalah pengusaha mebel yang sukses. "Sebagai Walikota Solo ia berhasil mengubah kota yang sarat kriminalitas menjadi pusat seni dan budaya," tulis Pallavi Aiyar.
Tahun lalu, ia mundur dari jabatan Walikota dan maju jadi kandidat Gubernur DKI Jakarta. "Ia memilih Basuki Tjahja Purnama, seorang Kristen keturunan Tionghoa, sebagai pasangan. sebuah langkah yang menggarisbawahi komitmennya untuk visi pluralistik Indonesia.
Tak mengherankan, Jokowi sering dibandingkan dengan Barack Obama. "Seperti halnya Obama, ia adalah pemimpin karismatik, memiliki daya tarik kuat untuk pemilih, juga menjanjikan harapan dan perubahan."
Ia juga di luar jalur pemimpin klasik, belum ternoda oleh dosa politik, kolusi, dan nepotisme. "Langkahnya menuju pemilu telah mengesampingkan lazimnya jalan kekuasaan politik: militer, bisnis besar, dinasti politik, dan ideologi keagamaan."
Jokowi juga contoh terbaik dari desentralisasi. Yang memberi peluang bagi politisi lokal, tanpa beking kuat, namun punya rekam jejak yang baik, melesat menjadi tokoh nasional.
Hambatan
Sebagai Gubernur Jakarta, Jokowi luar biasa sibuk. Kalau tak sedang 'blusukan', ia kerap dijumpai sedang mengunjungi pasar tradisional atau perkampungan kumuh untuk memantau kondisi secara langsung. Kurang dari setahun, ia sudah digadang-gadang sebagai Presiden RI.
Namun, sangat prematur untuk merayakan kemenangannya. "Meski Ketua PDIP Megawati kalah dalam dua pemilu presiden, bukan tak mungkin ia akan maju lagi dan menyingkirkan kesempatan Jokowi," tulis Pallavi Aiyar.
Selain itu, Jokowi juga belum menyelesaikan banyak pekerjaan rumahnya seperti skema jaminan kesehatannya, mengatasi kemacetan lalu lintas, polusi tinggi, juga banjir.
"Untuk saat ini, Jokowi diuntungkan dengan sikap pemilih yang makin matang, yang mendambakan pemimpin yang kepemimpinan yang bersih, berorientasi kinerja, bukan yang terperosok dalam politik ideologis atau identitas alias pencitraan."
Namun, kalaupun ia terpilih tahun depan, belum bisa dipastikan apakah Jokowi bisa bertahan menghadapi kepentingan dan hambatan kekuasaan. Seperti yang dialami Susilo Bambang Yudhoyono yang pada tahun 2004 lalu.
Yang jelas, kata Pallavi Aiyar, jalan Jokowi masih panjang. "Meskipun demikian, fakta bahwa calon seperti dia punya kesempatan jadi presiden adalah poin kredit untuk Indonesia," kata dia.
Sementara di India, 66 tahun demokrasi gagal untuk menghasilkan calon seperti itu, meski para pemilih sudah muak dengan dengan calon yang itu-itu saja. "Jika Jokowi adalah Obama-nya Indonesia, kita mungkin bisa bertanya, di mana Jokowi-nya India?"
Sumber:
liputan6.com