Tidak dapat diragukan lagi bahwa Joko Widodo atau yang lebih dikenal dengan nama julukan JOKOWI merupakan sosok yang saat ini cukup fenomenal di Indonesia. Jokowi adalah mantan Walikota Surakarta ini telah menjadi buah bibir di tengah-tengah masyarakat luas, semenjak dirinya mempopulerkan mobil SMK beberapa saat yang lalu.

Jokowi yang lahir di Surakarta pada 21 Juni 1961 ini semakin menjadi perbincangan masyarakat ketika secara resmi mencalonkan diri sebagai calon Gubernur untuk DKI Jakarta yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Pembangunan (PDI-P) yang berkolaborasi dengan Partai Gerindra.
Dalam pencalonan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama yang juga sering dijuluki sebagai Ahok.



Sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sebenarnya sudah lebih duluan populer dimata masyarakat Solo. Terbukti selama 2 priode terakhir menjabat sebagai Walikota di Surakarta, Jokowi telah mampu melakukan perubahan yang sangat pesat di kota ini. Dibawah kepemimpinan Jokowi, Kota Solo telah menjadi branding dengan slogan Kota, yaitu "Solo: The Spirit of Java".
Baca biografi lengkap beliau DISINI

Baca biografi wakil beliau ( AHOK ) DISINI

Kamis, 20 Maret 2014

Ini 8 Tokoh yang Dinilai Cocok Dampingi Jokowi di Pilpres


Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) memberikan keterangan kepada wartawan di Balaikota Jakarta, Senin (17/3/2014). Jokowi masih menjalani fungsinya sebagai Gubernur setelah ditunjuk oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri menjadi calon presiden dari PDIP.

Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens menilai, ada delapan tokoh yang cocok untuk menjadi calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo (Jokowi) untuk Pilpres 2014. Boni lantas menilainya melalui tujuh aspek, yakni kesamaan visi-misi, rekam jejak bersih, tegas dan berani, pekerja keras, dominan atau tidak terhadap Jokowi, mendapat dukungan publik, serta, terakhir, mendapat dukungan dari Jokowi sendiri.

Tokoh pertama yang dinilai cocok untuk mendampingi Jokowi adalah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad. Menurut Boni, Abraham merupakan tokoh yang bersih dan jujur. Abraham juga dinilainya sebagai tokoh yang tegas dan berani.

"Sudah terbukti, Abraham sukses memimpin KPK. Satu-satunya kekurangan Abraham, dia tidak mempunyai partai politik," kata Boni dalam diskusi bertajuk "Siapa Figur Ideal Pendamping Jokowi" di Gallery Cafe, Cikini, Jakarta, Kamis (20/3/2014).

Tokoh kedua yang dinilai pantas adalah Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Boni menilai Surya Paloh sebagai tokoh yang nasionalis dan mempunyai visi ke depan. Hanya, Boni khawatir dengan senioritasnya di dunia politik. Surya akan bersikap dominan jika menjadi cawapres Jokowi.

"Bukan tidak mungkin nanti justru Surya yang akan memegang kendali," ujar dia.

Tokoh ketiga adalah mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Rizal Ramli. Menurut Boni, Rizal adalah tokoh pejuang yang setia mengkritik pemerintahan. Rizal selama bertahun-tahun telah menjadi oposisi pemerintah, meskipun tanpa partai.

"Dia sekarang juga sudah menyatakan siap maju dengan ikut konvensi rakyat," ujar Boni.

Tokoh keempat, calon presiden dari Konvensi Partai Demokrat, Ali Masykur Musa. Menurut Boni, Ali adalah tokoh muda Nahdlatul Ulama yang punya kesamaan hal dengan presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

"Pluralitasnya tidak perlu diragukan lagi. Hanya, sayangnya, dia kurang mempunyai popularitas," ujar Boni.

Tokoh kelima adalah calon wakil presiden dari Partai Hanura, Harry Tanoesoedibjo. Menurut Boni, Harry adalah tokoh pengusaha yang cukup sukses pada usianya yang masih muda. Kemungkinan Harry untuk lepas dari Partai Hanura dan Wiranto, sebagai pasangan calon presiden, juga masih cukup besar.

"Dia ini kan baru masuk Hanura. Dia tidak benar-benar ada pada posisi penting di sana, meskipun uang Hanura kemungkinan dari dia," ujarnya.

Selanjutnya adalah calon presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Mahfud MD. Boni menilai bahwa Mahfud adalah sosok yang bersih jika melihat rekam jejaknya ketika menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). "Tapi sayangnya, sampai saat ini dia masih belum punya parpol," kata Boni.

Tokoh ketujuh adalah Jenderal (Purn) TNI Ryamizard Ryacudu. Menurut Boni, Ryamizard adalah tokoh yang tegas dan memiliki rekam jejak yang baik sebagai tokoh militer. "Ini akan menjadi perpaduan yang pas kalau ingin memasangkan Jokowi yang sipil, dengan militer," tambah Boni.

Tokoh terakhir adalah calon presiden dari PKB, Jusuf Kalla. Boni mengatakan, Kalla saat ini memang disebut-sebut sebagai sosok yang potensial untuk mendampingi Jokowi. Namun, Boni juga mengkhawatirkan bahwa sosok Kalla yang sudah senior justru akan membuatnya bersikap dominan terhadap Jokowi.

"Belum lagi, dia ini kan pengusaha, punya usaha macam-macam. Nantinya justru yang ditakutkan akan conflict of interest," pungkas Boni.

Sumber : kompas.com

Minggu, 16 Maret 2014

Momentum Politik Jokowi..


Calon Presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo saat berkampanye di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta Pusat, Minggu (16/3/2014).

Oleh: Eep Saefulloh Fatah 

SAMPAI Jumat (14/3) siang, Tuhan masih menyisakan tiga hal sebagai misteri bagi kita di Indonesia: jodoh dan kematian kita serta keputusan Megawati Soekarnoputri soal kandidat presiden dari PDI-P.

Tapi, Jumat sore, misteri terakhir terpecahkan. Joko Widodo alias Jokowi resmi diajukan PDI Perjuangan sebagai calon presiden. Keputusan Megawati itu tentu saja dilatari tingginya elektabilitas Jokowi menurut berbagai survei. Bagaimana memahaminya? Mengapa Jokowi? Inilah beberapa kemungkinan jawabannya.

Pemilu 2014 tak bisa dilihat sebagai potret atau gambar statis. Ia adalah gambar bergerak dalam sebuah rangkaian adegan. Memahami Pemilu 2014 pun mesti dilakukan dengan menelusuri apa saja pengalaman dan peristiwa yang terjadi sepanjang perjalanan menuju 2014.

Di sepanjang jalan inilah kita, antara lain, bersua dengan pengalaman di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejauh yang saya pahami, ada dua aspek yang hilang, sulit ditemukan sepanjang hampir satu dekade terakhir ini: keberanian membuat keputusan dengan sigap dan otentisitas (para) pemimpin.

Keberanian mengambil risiko atas keputusan yang dibuat, kesediaan bertanggung jawab tanpa melemparkan tanggung jawab itu kepada pihak lain (termasuk kepada bawahan), kesigapan bekerja sambil tetap menjaga perhitungan teknokratis adalah beberapa hal yang hilang dan kita rindukan dalam kerja kepemimpinan. Pemimpin yang berani, tegas, sigap mengambil keputusan, dan berdiri gagah penuh tanggung jawab jadi barang langka.

Selain itu, banyak politisi mengidap cedera otentisitas akut. Otentisitas adalah keotentikan diri, ditandai dengan bersih dan tak terkaitnya ia dengan masalah yang ia harus urus. Pemimpin otentik akan didengar dan dipatuhi saat mengajak semua orang memberantas korupsi karena ia, keluarga, dan lingkaran terdekatnya tak tersangkut perilaku korupsi. Seorang pemimpin otentik akan dipandang dengan hormat sebagai pembela keadilan karena orang tak menemukan jejak ketidakadilan atau pembiaran praktik ketidakadilan dalam rekam jejak kepemimpinannya.

Terlepas dari pembelaan diri para politisi bahwa mereka berani dan otentik, publik berpendapat sebaliknya. Sebagaimana halnya ”pemimpin yang berani”, ”pemimpin otentik” dipahami sebagai barang langka saat ini.

Pemilu 2014, terutama pilpres, terjadi di tengah momentum politik kebutuhan akan pemimpin berani dan otentik itu. Terus naiknya popularitas, disukai, dan elektabilitas Joko Widodo alias Jokowi sejak lebih dari setahun lalu tampaknya berkaitan dengan momentum politik ini.

Apakah dengan demikian bisa kita simpulkan Jokowi berani dan otentik? Belum tentu. Tapi, sejauh ini, dalam kerja kepemimpinan yang sudah dan sedang diembannya, Jokowi berhasil membangun identitas, integritas, dan citra sebagai pemimpin yang berani dan otentik itu. Setidaknya belum ada data yang secara telak membantah ini kecuali rumor dan informasi yang beredar di media sosial.

Pembuka jalan keluar

Selain itu, Jokowi juga diuntungkan oleh posisi dan waktu. Dengan jadi Gubernur DKI Jakarta sejak 15 Oktober 2012, ia terpajang di etalase politik nasional. Dengan segenap keunikannya, Jokowi pun dengan cepat jadi kekasih media (nasional). Dan, mengingat Jakarta adalah ibu kota industri televisi Indonesia, sang kekasih media ini pun dengan masif dan berkelanjutan jadi bahan pemberitaan TV yang menjangkau seantero Nusantara.

Tetapi, bukan hanya hubungan mesranya dengan media yang membuat postur politik Jokowi menjulang dengan segera. Faktor lain yang juga berperan penting adalah keunikan posisi politiknya sebagai gubernur Jakarta. Di Indonesia ada tiga jenis gubernur: gubernur DI Yogyakarta, gubernur DKI Jakarta, dan 31 gubernur provinsi lain. Gubernur Yogya paling ”kurang beruntung” secara politik sebab ia sendiri tak dipilih secara langsung oleh warganya, tetapi mesti berhubungan dengan para bupati dan wali kota hasil pemilihan langsung.

Gubernur Jakarta adalah gubernur paling beruntung karena diposisikan sebagai eksekutor tanpa hambatan politik dari bawah. Sang gubernur yang merupakan hasil pilkada ini membawahkan lima wali kota dan satu bupati administratif yang tak satu pun dipilih langsung warganya. Wali kota dan bupati administratif itu adalah bawahan yang ditunjuk langsung oleh gubernur. Itulah yang membedakan gubernur Jakarta dengan semua gubernur di 31 provinsi lainnya. Untuk menjadi eksekutor kebijakan, para gubernur di semua provinsi lain harus bertarung dengan para bupati dan wali kota di wilayah mereka yang berlegitimasi kuat karena dipilih langsung warganya.

Posisi unik itu membuat gubernur Jakarta jadi sang eksekutor yang bukti nyata kerjanya bisa dilihat dan diukur dengan lebih gampang dibandingkan gubernur lain di Indonesia. Gubernur Jakarta harus bersentuhan langsung dengan persoalan sehari-hari publik dan bisa mengeksekusi langsung kebijakan-kebijakan pemerintah provinsi. Gubernur Jakarta adalah bupati besar atau wali kota besar.

Dalam konteks itulah ”teori” Benjamin Barber relevan. Dalam buku If Mayors Ruled the World (2014), Barber menegaskan bahwa presiden, perdana menteri, atau siapa pun pemimpin politik berskala negara-bangsa sulit membuktikan diri sebagai pemimpin atau penguasa sesungguhnya. Sebab, mereka mengurus unit kekuasaan terlalu besar dan tak bersentuhan langsung dengan persoalan warga sehari-hari. Jejak kepemimpinannya tak bisa dilihat secara langsung dan tegas.

Alih-alih para wali kota (dalam konteks Indonesia, termasuk bupati)-lah yang berkesempatan membuktikan kepemimpinan mereka secara serta merta dan benderang. Mereka dituntut jadi pembuka jalan keluar. Karena itu, menurut Barber, mereka potensial bersinar dan diberi kesempatan menjadi ”pengendali dunia”.

Dalam posisi itulah kita temukan Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, Abdullah Azwar Anas, Suyoto, dan sejumlah nama bupati dan wali kota lain. Dalam posisi itu pula Jokowi terletak dengan satu bonus tambahan: ia berada dalam konteks waktu yang menguntungkannya.

Pada saat Pilpres 9 Juli 2014, usia kepemimpinan Jokowi di Jakarta belum seumur jagung: 1 tahun 8 bulan 24 hari. Ia belum berada pada fase ”pembuktian”, melainkan fase ”harapan”. Usia kepemimpinannya yang pendek belum bisa dinilai secara layak. Maka, penilaian atasnya pun sesungguhnya lebih banyak berbasis ”harapan” dan belum ”pembuktian”.

Ketika Jokowi benar-benar tampil sebagai salah satu kandidat presiden dalam Pilpres 2014, ia amat diuntungkan karena tak ditimbang sebagai pemimpin yang sudah benar-benar terbuktikan hasil kerja nyatanya, melainkan tampil sebagai ”jawaban atas harapan publik”. Walhasil, momentum politik serta posisi dan waktu seperti bersekutu untuk memberi keuntungan bagi Jokowi. Inilah rasionalisasi dari ”teori garis tangan” yang kerap dipakai untuk menjelaskan kenaikan elektabilitas Jokowi belakangan ini.

Generasi baru

Jawaban berikutnya berkait dengan peralihan generasi politisi Indonesia. Pemilu 2014 adalah pemilu terakhir bagi ”generasi pertama politisi Reformasi”, yakni mereka yang mengambil alih kendali kekuasaan pada akhir 1990-an. Sejumlah tokoh generasi ini masih kerap disebut dalam bursa bakal kandidat, di antaranya Megawati Soekarnoputri, M Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, dan Aburizal Bakrie.

Publik tampaknya merasa sudah memberi kesempatan yang cukup—lebih dari satu setengah dekade—kepada mereka untuk mengikuti kontestasi politik nasional dan menduduki pos-pos strategis pemerintahan. Sekarang tumbuh keinginan memiliki pemimpin dari generasi baru. Postur politik Jokowi pun jadi menonjol karena datang dari generasi baru ini.

Tapi, akankah Pemilu 2014 menandai alih generasi secara tuntas dan tegas? Boleh jadi jawabannya belum tentu. Perjalanan menuju Pilpres 2014 masih cukup panjang. Perkembangan politik masih akan berlangsung secara dinamis.

EEP SAEFULLOH FATAH, Pendiri dan Pemimpin PolMark Indonesia Inc, Pusat Riset dan Konsultasi Political Marketing



Sumber: KOMPAS CETAK