Oleh: Eep Saefulloh Fatah
SAMPAI Jumat (14/3) siang, Tuhan masih menyisakan tiga hal sebagai misteri bagi kita di Indonesia: jodoh dan kematian kita serta keputusan Megawati Soekarnoputri soal kandidat presiden dari PDI-P.
Tapi, Jumat sore, misteri terakhir terpecahkan. Joko Widodo alias Jokowi resmi diajukan PDI Perjuangan sebagai calon presiden. Keputusan Megawati itu tentu saja dilatari tingginya elektabilitas Jokowi menurut berbagai survei. Bagaimana memahaminya? Mengapa Jokowi? Inilah beberapa kemungkinan jawabannya.
Pemilu 2014 tak bisa dilihat sebagai potret atau gambar statis. Ia adalah gambar bergerak dalam sebuah rangkaian adegan. Memahami Pemilu 2014 pun mesti dilakukan dengan menelusuri apa saja pengalaman dan peristiwa yang terjadi sepanjang perjalanan menuju 2014.
Di sepanjang jalan inilah kita, antara lain, bersua dengan pengalaman di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejauh yang saya pahami, ada dua aspek yang hilang, sulit ditemukan sepanjang hampir satu dekade terakhir ini: keberanian membuat keputusan dengan sigap dan otentisitas (para) pemimpin.
Keberanian mengambil risiko atas keputusan yang dibuat, kesediaan bertanggung jawab tanpa melemparkan tanggung jawab itu kepada pihak lain (termasuk kepada bawahan), kesigapan bekerja sambil tetap menjaga perhitungan teknokratis adalah beberapa hal yang hilang dan kita rindukan dalam kerja kepemimpinan. Pemimpin yang berani, tegas, sigap mengambil keputusan, dan berdiri gagah penuh tanggung jawab jadi barang langka.
Selain itu, banyak politisi mengidap cedera otentisitas akut. Otentisitas adalah keotentikan diri, ditandai dengan bersih dan tak terkaitnya ia dengan masalah yang ia harus urus. Pemimpin otentik akan didengar dan dipatuhi saat mengajak semua orang memberantas korupsi karena ia, keluarga, dan lingkaran terdekatnya tak tersangkut perilaku korupsi. Seorang pemimpin otentik akan dipandang dengan hormat sebagai pembela keadilan karena orang tak menemukan jejak ketidakadilan atau pembiaran praktik ketidakadilan dalam rekam jejak kepemimpinannya.
Terlepas dari pembelaan diri para politisi bahwa mereka berani dan otentik, publik berpendapat sebaliknya. Sebagaimana halnya ”pemimpin yang berani”, ”pemimpin otentik” dipahami sebagai barang langka saat ini.
Pemilu 2014, terutama pilpres, terjadi di tengah momentum politik kebutuhan akan pemimpin berani dan otentik itu. Terus naiknya popularitas, disukai, dan elektabilitas Joko Widodo alias Jokowi sejak lebih dari setahun lalu tampaknya berkaitan dengan momentum politik ini.
Apakah dengan demikian bisa kita simpulkan Jokowi berani dan otentik? Belum tentu. Tapi, sejauh ini, dalam kerja kepemimpinan yang sudah dan sedang diembannya, Jokowi berhasil membangun identitas, integritas, dan citra sebagai pemimpin yang berani dan otentik itu. Setidaknya belum ada data yang secara telak membantah ini kecuali rumor dan informasi yang beredar di media sosial.
Pembuka jalan keluar
Selain itu, Jokowi juga diuntungkan oleh posisi dan waktu. Dengan jadi Gubernur DKI Jakarta sejak 15 Oktober 2012, ia terpajang di etalase politik nasional. Dengan segenap keunikannya, Jokowi pun dengan cepat jadi kekasih media (nasional). Dan, mengingat Jakarta adalah ibu kota industri televisi Indonesia, sang kekasih media ini pun dengan masif dan berkelanjutan jadi bahan pemberitaan TV yang menjangkau seantero Nusantara.
Tetapi, bukan hanya hubungan mesranya dengan media yang membuat postur politik Jokowi menjulang dengan segera. Faktor lain yang juga berperan penting adalah keunikan posisi politiknya sebagai gubernur Jakarta. Di Indonesia ada tiga jenis gubernur: gubernur DI Yogyakarta, gubernur DKI Jakarta, dan 31 gubernur provinsi lain. Gubernur Yogya paling ”kurang beruntung” secara politik sebab ia sendiri tak dipilih secara langsung oleh warganya, tetapi mesti berhubungan dengan para bupati dan wali kota hasil pemilihan langsung.
Gubernur Jakarta adalah gubernur paling beruntung karena diposisikan sebagai eksekutor tanpa hambatan politik dari bawah. Sang gubernur yang merupakan hasil pilkada ini membawahkan lima wali kota dan satu bupati administratif yang tak satu pun dipilih langsung warganya. Wali kota dan bupati administratif itu adalah bawahan yang ditunjuk langsung oleh gubernur. Itulah yang membedakan gubernur Jakarta dengan semua gubernur di 31 provinsi lainnya. Untuk menjadi eksekutor kebijakan, para gubernur di semua provinsi lain harus bertarung dengan para bupati dan wali kota di wilayah mereka yang berlegitimasi kuat karena dipilih langsung warganya.
Posisi unik itu membuat gubernur Jakarta jadi sang eksekutor yang bukti nyata kerjanya bisa dilihat dan diukur dengan lebih gampang dibandingkan gubernur lain di Indonesia. Gubernur Jakarta harus bersentuhan langsung dengan persoalan sehari-hari publik dan bisa mengeksekusi langsung kebijakan-kebijakan pemerintah provinsi. Gubernur Jakarta adalah bupati besar atau wali kota besar.
Dalam konteks itulah ”teori” Benjamin Barber relevan. Dalam buku If Mayors Ruled the World (2014), Barber menegaskan bahwa presiden, perdana menteri, atau siapa pun pemimpin politik berskala negara-bangsa sulit membuktikan diri sebagai pemimpin atau penguasa sesungguhnya. Sebab, mereka mengurus unit kekuasaan terlalu besar dan tak bersentuhan langsung dengan persoalan warga sehari-hari. Jejak kepemimpinannya tak bisa dilihat secara langsung dan tegas.
Alih-alih para wali kota (dalam konteks Indonesia, termasuk bupati)-lah yang berkesempatan membuktikan kepemimpinan mereka secara serta merta dan benderang. Mereka dituntut jadi pembuka jalan keluar. Karena itu, menurut Barber, mereka potensial bersinar dan diberi kesempatan menjadi ”pengendali dunia”.
Dalam posisi itulah kita temukan Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, Abdullah Azwar Anas, Suyoto, dan sejumlah nama bupati dan wali kota lain. Dalam posisi itu pula Jokowi terletak dengan satu bonus tambahan: ia berada dalam konteks waktu yang menguntungkannya.
Pada saat Pilpres 9 Juli 2014, usia kepemimpinan Jokowi di Jakarta belum seumur jagung: 1 tahun 8 bulan 24 hari. Ia belum berada pada fase ”pembuktian”, melainkan fase ”harapan”. Usia kepemimpinannya yang pendek belum bisa dinilai secara layak. Maka, penilaian atasnya pun sesungguhnya lebih banyak berbasis ”harapan” dan belum ”pembuktian”.
Ketika Jokowi benar-benar tampil sebagai salah satu kandidat presiden dalam Pilpres 2014, ia amat diuntungkan karena tak ditimbang sebagai pemimpin yang sudah benar-benar terbuktikan hasil kerja nyatanya, melainkan tampil sebagai ”jawaban atas harapan publik”. Walhasil, momentum politik serta posisi dan waktu seperti bersekutu untuk memberi keuntungan bagi Jokowi. Inilah rasionalisasi dari ”teori garis tangan” yang kerap dipakai untuk menjelaskan kenaikan elektabilitas Jokowi belakangan ini.
Generasi baru
Jawaban berikutnya berkait dengan peralihan generasi politisi Indonesia. Pemilu 2014 adalah pemilu terakhir bagi ”generasi pertama politisi Reformasi”, yakni mereka yang mengambil alih kendali kekuasaan pada akhir 1990-an. Sejumlah tokoh generasi ini masih kerap disebut dalam bursa bakal kandidat, di antaranya Megawati Soekarnoputri, M Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, dan Aburizal Bakrie.
Publik tampaknya merasa sudah memberi kesempatan yang cukup—lebih dari satu setengah dekade—kepada mereka untuk mengikuti kontestasi politik nasional dan menduduki pos-pos strategis pemerintahan. Sekarang tumbuh keinginan memiliki pemimpin dari generasi baru. Postur politik Jokowi pun jadi menonjol karena datang dari generasi baru ini.
Tapi, akankah Pemilu 2014 menandai alih generasi secara tuntas dan tegas? Boleh jadi jawabannya belum tentu. Perjalanan menuju Pilpres 2014 masih cukup panjang. Perkembangan politik masih akan berlangsung secara dinamis.
EEP SAEFULLOH FATAH, Pendiri dan Pemimpin PolMark Indonesia Inc, Pusat Riset dan Konsultasi Political Marketing