Relokasi warga dari Waduk Pluit berlangsung panas, di lapangan. Begitu pun di media cetak dan elektronik. Perseteruan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan warga seakan terasa sengit, bahkan dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang juga ikut turun ke lokasi.
Namun, semua itu tidak terjadi di atas meja makan Balaikota Jakarta, Selasa (21/5). Pertemuan antara Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan perwakilan warga Waduk Pluit berlangsung hangat. Gubernur sebagai pihak yang akan merelokasi dan warga yang akan direlokasi, sama-sama bersikap luwes, penuh keakraban.
Saat acara makan siang itu, Jokowi belum sempat melepas jas hitam dan dasi setelah mengikuti Sidang Paripurna di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Begitu pun Wali Kota Jakarta Utara Bambang Sugiyono yang mendampinginya. Sementara itu, warga Pluit sudah siap sebelum gubernur datang.
"Ada demo warga Pluit," cetus salah seorang wartawan yang bertugas di Balaikota, siang itu. Dia mengira kedatangan 15 warga Pluit untuk berdemonstrasi.
Ternyata, mereka datang atas undangan Gubernur Jokowi. "Kami diminta datang silaturahmi," kata Syahroni, Ketua RT 017 RW 017, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Pembicaraan diawali dengan perkenalan masing-masing perwakilan warga. Lalu mereka menikmati sajian sop buntut, ikan bakar, ayam bakar, es buah, jeruk, emping melinjo, dan beberapa makanan lain.
Jokowi duduk di sisi selatan meja bundar, berhadapan dengan perwakilan warga Waduk Pluit. Sementara itu, hampir semua kursi yang mengelilingi meja itu diduduki warga.
Permintaan warga
Jokowi menyampaikan untuk sementara tidak ada penggusuran di Waduk Pluit. Relokasi ribuan warga di sisi timur akan dilakukan setelah rumah susun selesai dibangun. Namun, pengerukan Waduk Pluit terus dilanjutkan.
Meskipun demikian, Ketua RW 017, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara, Gustara memohon Jokowi agar menarik aparat kepolisian dan satuan polisi pamong praja dari area waduk. Alasannya, keberadaan mereka membuat resah warga, dan warga merasa terancam. "Walaupun mereka diam, warga tidak tenang. Lebih baik mereka ditarik saja Pak," kata Gustara.
Seusai menikmati buah jeruk, Jokowi pun menimpali, "Kalau aparat pergi, siapa yang jaga pekerja dan alat berat di sana. Kapan hari mereka dilempari."
Gustara pun menjawab bahwa pelempar alat berat itu justru pendukung Jokowi saat pilkada. Dia kecewa karena tidak bisa bertemu Jokowi secara langsung. Gustara pun menjamin keamanan pekerja dan alat berat di area waduk.
Pada pertemuan itu, warga juga meminta Jokowi tidak diskriminatif. Ada beberapa bangunan milik orang kaya yang juga berada di area waduk.
Menanggapi hal itu, Jokowi berjanji tidak akan ada perbedaan perlakuan di Waduk Pluit. "Yang kecil dan yang besar perlakuannya sama. Kalau berada di area waduk direlokasi," tegas Jokowi.
Pertemuan itu selesai setelah berlangsung kurang dari satu jam. "Udah, ya Pak, nanti bisa ketemu lagi," Jokowi pamit.
Pertemuan pada siang itu ditutup dengan foto bersama warga. Jokowi bahkan mengantar perwakilan warga sampai ke pelataran Balaikota. Walaupun belum menghasilkan kesepakatan soal relokasi, warga lega bisa bertemu langsung dengan Gubernur. "Yang penting sudah bertemu. Tinggal mencari solusi," kata Ketua RT 017, Kelurahan Penjaringan, Syahroni.
Warga "legowo"
Berdasarkan pemantauan Kompas di Waduk Pluit, sebagian warga di sana memang sudah legowo. Mereka bahkan ada yang sudah bersiap pulang kampung bila digusur.
"Apa boleh buat? Tanah ini memang bukan milik saya. Tanah ini adalah tanah negara dan akan digunakan untuk kepentingan negara," ujar Daryanti (80), kakek 8 cucu, yang bermukim di pinggiran Waduk Pluit sejak 1968.
Hal senada diungkapkan salah seorang warga lainnya, Amir Husein (65). "Dahulu, orangtua saya merantau ke sini sebagai pelayar. Tanah ini digarap dan dijadikan permukiman oleh orangtua saya. Apabila pemerintah ingin mengambilnya kembali, silakan, tidak ada masalah. Namun, pemerintah harus tetap memperhatikan nasib kami," ucap pria asal Bawean, Jawa Timur, yang telah bermukim sejak 1955.
Menurut Abdurahman (63), mantan Ketua RT di sisi Timur Waduk Pluit, permukiman yang ada di sana memang dibangun dari tanah hasil mematok.
"Ada konsep, siapa duluan mematok, maka dia yang menjadi pemilik tanah itu," tutur pria asal Bugis, Sulawesi Selatan tersebut.
Abdurahman mengisahkan, awalnya, seusai Waduk Pluit dibangun, tak ada permukiman di pinggir waduk. Pinggiran waduk masih berupa rawa dan kebun. Pada tahun 1990-an, beberapa warga mulai membangun permukiman di area sekitar waduk. Melihat kondisi itu, dirinya tak mau kalah, dan turut membangun dua permukiman di sana.
Menurut Abdurahman, sebagian besar rumah di pinggir Waduk Pluit juga tidak membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Surat PBB itu dibuat dari calo. Tujuannya, supaya bisa meminjam uang di bank dan kredit sepeda motor di dealer.
Sumber: kompas.com