Tidak dapat diragukan lagi bahwa Joko Widodo atau yang lebih dikenal dengan nama julukan JOKOWI merupakan sosok yang saat ini cukup fenomenal di Indonesia. Jokowi adalah mantan Walikota Surakarta ini telah menjadi buah bibir di tengah-tengah masyarakat luas, semenjak dirinya mempopulerkan mobil SMK beberapa saat yang lalu.

Jokowi yang lahir di Surakarta pada 21 Juni 1961 ini semakin menjadi perbincangan masyarakat ketika secara resmi mencalonkan diri sebagai calon Gubernur untuk DKI Jakarta yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Pembangunan (PDI-P) yang berkolaborasi dengan Partai Gerindra.
Dalam pencalonan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama yang juga sering dijuluki sebagai Ahok.



Sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sebenarnya sudah lebih duluan populer dimata masyarakat Solo. Terbukti selama 2 priode terakhir menjabat sebagai Walikota di Surakarta, Jokowi telah mampu melakukan perubahan yang sangat pesat di kota ini. Dibawah kepemimpinan Jokowi, Kota Solo telah menjadi branding dengan slogan Kota, yaitu "Solo: The Spirit of Java".
Baca biografi lengkap beliau DISINI

Baca biografi wakil beliau ( AHOK ) DISINI

Rabu, 02 Oktober 2013

Jokowi-Dahlan Kerja Sama Kurangi Banjir Jakarta

Menteri BUMN Dahlan Iskan teken kontrak kerjasama senilai Rp 1,2 triliun dengan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, di kantor Balaikota, Jakarta, Rabu (2/10/2013). Kerjasama itu adalah pembangunan waduk long storage (tampungan panjang) di hulu Ciliwung, yang akan dikerjakan konsorsium BUMN-BUMD terdiri dari PT Hutama Karya, PT Perusahaan Pengelola Aset, PT Pembangunan Jaya, serta PAM Jaya.

Kementerian BUMN dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membangun empat bendungan di Bogor, Jawa Barat. Pembangunan bendungan itu diklaim kedua pihak mampu mengurangi banjir tahunan Jakarta.

Seusai penandatanganan kerja sama, Dahlan mengungkapkan, empat bendungan itu berbentuk waduk long storage (waduk memanjang) dengan sistem terasering. Bendungan tersebut berfungsi untuk mengatur debit air yang mengalir di Ciliwung.

"Perhitungan kita, paling tidak bendungan akan mengurangi 20 persen banjir DKI," ujar Dahlan di Balaikota DKI, Rabu (2/10/2013).

Mekanismenya, lanjut Dahlan, empat bendungan itu memiliki luas masing-masing 10 hektar. Air sungai masuk secara normal ke bendungan dan tertampung di waduk panjang terlebih dahulu. Kemudian, besar-kecil debit diatur sebelum dilepas ke aliran Sungai Ciliwung.

Proyek tersebut, kata Dahlan, akan dibangun pada awal tahun 2014. Ia memprediksi, bendungan itu selesai dalam dua tahun, yakni pada 2016.

"Ini sinergi antara BUMN yaitu PT Hutama Karya dan PT Perusahaan Pengelola Aset. Adapun Pemprov DKI diwakili BUMD PT Pembangunan Jaya dan PAM Jaya. Investasinya 51 persen BUMN, 49 persen Pemprov DKI," ujarnya.

Penyediaan air bersih
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengapresiasi positif kerja sama tersebut. Terlebih lagi, bendungan tersebut tak hanya berfungsi sebagai pengendali banjir, tetapi juga sebagai sumber ketersediaan air bersih tiga wilayah, yakni Jakarta, Depok, dan Bogor dengan jumlah pasokan 3.000 meter kubik per detik.

"Pengelolaan air bersih akan dilakukan BUMD kita, Jakpro, atau PAM Jaya," tambah Jokowi.

Jokowi mengaku gembira dapat merealisasikan pembangunan bersama Kementerian BUMN. Kerja sama itu dianggapnya menyelesaikan dua persoalan sekaligus di Jakarta, yakni soal banjir dan ketersediaan air bersih.

Sumber: kompas.com

Jokowi Tertawa Didoakan Dahlan Iskan Jadi Presiden


Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Gubernur DKI Joko Widodo menandatangani kerjasama pembangunan empat bendungan di Sungai Ciliwung, Bogor, Jawa Barat. Bendungan itu dibangun untuk mengurangi banjir.

JAKARTA,  Dahlan Iskan dan Joko Widodo merupakan dua nama yang kerap disebut-sebut layak maju sebagai capres di Pemilu 2014. Namun, menyadari Jokowi lebih unggul dari berbagai survei, Dahlan pun mendoakan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai Presiden RI 2014.

"Saya mendoakan Pak Jokowi menjadi Presiden pada 2014," ujar Dahlan di Balaikota DKI Jakarta, Rabu (2/10/2013), seusai menandatangani kerja sama pembangunan empat bendungan di Sungai Ciliwung, Bogor, Jawa Barat.

Jokowi yang duduk di samping Dahlan hanya bisa tertawa. Gubernur DKI Jakarta itu tidak memberi komentar apa pun.

Namun, seusai melontarkan harapannya, Dahlan pun minta didoakan menjadi Presiden 2019, menggantikan Jokowi. "Tapi saya minta setelah itu, kamu semua doakan saya jadi presiden ya," selorohnya sambil tertawa.

Dari survei yang dilakukan sejumlah lembaga soal orang yang disebut-sebut menjadi calon presiden RI, Joko Widodo selalu di urutan atas. Nama Jokowi bahkan mengalahkan sejumlah nama, misalnya Prabowo Subianto, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan Dahlan Iskan.

Namun hingga saat ini, belum ada kejelasan dari Jokowi apakah akan maju dalam kancah capres RI 2014. Yang pasti, dia masih menunggu restu dari Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan.

Sumber: kompas.com

Selasa, 01 Oktober 2013

Saatnya Jakarta Bermimpi untuk 30 Tahun ke Depan ....

Ruas Jalan Sudirman-MH Thamrin.

Mengelilingi Jakarta akhir-akhir ini terlihat perbedaan mencolok dibandingkan dengan kondisi Ibu Kota setahun silam. Melewati kawasan Pasar Minggu di Jakarta Selatan memang masih ada satu-dua pedagang yang nakal menjajakan barang di trotoar, tetapi tidak sampai menyita sebagian badan jalan. Belum lagi jika melongok ke Tanah Abang di Jakarta Pusat.

Wuih, jalanan mulus. Sepertinya cuma butuh satu sentuhan penertiban lagi, yaitu menata parkir mobil di badan jalan dan truk bongkar muat tepat di depan deretan ruko di sekitar Tanah Abang.

Perubahan Jakarta bukan hanya itu. Beberapa waduk yang biasanya tertutup sampah, eceng gondok, dan rumah-rumah semipermanen milik penghuni liar mulai ditertibkan. Kalau tidak percaya, bolehlah mampir ke Waduk Pluit di Jakarta Utara dan Waduk Ria Rio di Jakarta Timur.

Tentu perubahan fisik yang terjadi tak serta-merta mengubah Jakarta. Upaya pemerintahan daerah saat ini baru sedikit dari sejumlah program penanggulangan kemacetan, pengendalian banjir, sampai menata kota agar lebih manusiawi. Pekerjaan rumah pemerintah masih berderet panjang dan tentu butuh waktu.

Perhatikan saja kanan-kiri Tol TB Simatupang hingga Jagakarsa di Jakarta Selatan yang berbatasan dengan Depok, Jawa Barat. Di kawasan ini, gedung tinggi tumbuh subur. Padahal, kawasan ini sudah ditetapkan sebagai daerah konservasi. Aturan tersebut diterapkan guna melindungi tabungan air tanah dan keseimbangan lingkungan Jakarta. Di kawasan ini ada Situ Babakan yang dilestarikan sekaligus menjadi kampung budaya Betawi. Namun, tentu keberadaan satu situ dalam kondisi bagus tak memadai untuk mengemban tugas penyeimbang lingkungan.

Di era kepemimpinan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, masyarakat berharap Jakarta akan diurus secara profesional, tetapi manusiawi. Maklum saja, seperti pendapat Susan Blackburn, selama lebih dari 400 tahun usia Jakarta, kota ini dibangun untuk tujuan sesaat sesuai keinginan penguasanya saja.

Menurut pendapat penulis buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun itu, Belanda membangun Kota Tua sampai kawasan Menteng untuk kepentingan eksploitasi ekonominya dan memberi tempat layak bagi orang-orang "Negeri Kincir Angin" itu di Batavia. Kebijakan yang diambil demi kepentingan segelintir orang, diyakini Blackburn, terus terjadi hingga masa kini.

Sejarawan Restu Gunawan menyebutkan, apa yang terjadi saat ini di Jakarta karena pengabaian terhadap lingkungan yang telah berlangsung selama empat abad terakhir. Berabad silam, hutan dibabat dan rawa diuruk di daratan Teluk Jakarta kemudian dijadikan kota kerajaan hingga kemudian diambil alih Belanda. Istilah mengatasi masalah hanya dengan mengandalkan proyek infrastruktur fisik nyata telah terus berulang.

Dalam buku Restu berjudul Gagalnya Sistem Kanal disebutkan, akibat banjir pada tahun 1830, ibu kota Hindia Belanda terpaksa dipindahkan dari kota lama Batavia ke Weltevreden. Fakta ini menjadi dasar sebuah analisis, yaitu jika masalah banjir tidak kunjung diatasi, bukan mustahil Jakarta bakal tenggelam dan terpaksa ditinggalkan warga untuk selamanya. Ini akan terjadi pada tahun 2030-an saat tibanya siklus banjir 200 tahunan.

Buku itu juga mengungkapkan bahwa kanal-kanal yang dibuat Belanda dan kini diadopsi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bukan solusi tepat karena mengabaikan kondisi geografis Jakarta sebagai kota yang berada di daerah dataran sangat rendah.

Membangun selaras dengan lingkungan dan memperhatikan kepentingan setiap warganya, yang tak melulu dari kalangan tertentu saja, juga menjadi kritik Blackburn. Perempuan asal Australia ini bahkan mengkritik kebijakan Soekarno yang membangun proyek besar, seperti Monas, Gelora Bung Karno, dan Bundaran HI, tetapi Ibu Kota sebagai wajah bangsa sejak awal tak pernah punya perencanaan dan realisasi pembangunan transportasi publik yang memadai.

Tidak berkesinambungan

Pengamat perkotaan Nirwono Joga tak setuju dengan pendapat Blackburn. Menurut penggerak dan penulis beberapa seri buku kota hijau yang biasa dipanggil Yudi itu, pada masa Gubernur Ali Sadikin, banyak perencanaan pembangunan dan kebijakannya yang visioner dan prorakyat.

Simak saja program gubernur yang ditunjuk langsung oleh Bung Karno itu seperti penataan pinggir kali sekaligus menata kampung. Bukan hanya untuk menanggulangi banjir, programnya juga dianggap bisa mengatasi kekumuhan dan kemiskinan yang telah melanda Jakarta saat itu.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa hingga saat ini masalah-masalah yang sama terus terjadi? Yudi menyatakan, kesalahan selama ini adalah tidak ada kesinambungan program pembangunan.

Masalah lain adalah setelah Ali Sadikin, tidak ada lagi pemimpin berkarisma dan memiliki pemikiran jauh ke depan. Ya, setidaknya, Yudi berharap, sekarang pemimpin yang diidamkan banyak orang itu baru muncul kembali.

Akan tetapi, tanpa sebuah mimpi besar yang mengikat warga dan pemimpinnya, Yudi yakin Jakarta akan kembali terpuruk menjadi kawasan tak beradab setelah ditinggalkan "dirigennya" kelak. Paling tidak, sejak kini harus dibentuk kelompok-kelompok warga yang loyal kepada gubernur dan berfungsi sebagai penggerak perubahan di tingkat RT/RW sampai kelurahan dan kecamatan.

Tim ini untuk menyosialisasikan program gubernur sekaligus mengawasi realisasi program pemerintah di lapangan, bukan urusan politik.

Yudi juga meyakini semangat perubahan yang kini merebak menjangkiti warga Jakarta harus dikelola agar selalu menyala. Mengemas program pembangunan Jakarta untuk bersama-sama meraih sesuatu yang membanggakan bisa dilakukan, misalnya Jakarta jadi tuan rumah Olimpiade 2052. Dari situ baru diturunkan program jangka pendek, menengah, dan panjang untuk 30 tahun ke depan...

Sumber: kompas.com

"Menang Tanpa Ngasorake", Diplomasi Makan Siang ala Jokowi...

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo.
 
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo memiliki gaya unik menyelesaikan persoalan komunikasi dengan warganya. Makan siang pun bisa jadi cara. Menghadapi isu-isu sensitif pun, tidak ada spanduk tuntutan dan pengeras suara dari warga, tidak ada pula pentungan Satpol PP. Hanya denting sendok garpu yang berujung pada kata sepakat.

"Makan siang bersama seperti Pak Jokowi dan warga itu istilahnya memang mempersatukan," ujar Kepala Biro Daerah dan Kerja Sama Luar Negeri DKI Jakarta Heru Budi Hartono kepada Kompas.com, Selasa (1/10/2013) sore.

Heru adalah orang yang sehari-hari mengatur jadwal orang nomor satu di Jakarta tersebut. Dalam catatannya sejak dilantik hampir satu tahun lalu, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut telah enam kali mengundang warga DKI untuk makan siang bersama di kantor Balaikota.

Kali pertama, Februari 2013, Jokowi mengajak warga korban banjir di Jakarta Utara makan siang setelah beberapa kali mengunjunginya. Tidak ada persoalan yang begitu penting diselesaikan dengan para korban banjir. Misi Jokowi, kala itu, bisa jadi adalah silaturahim dan mengurangi beban saja.

Dua bulan berselang, sekitar awal April, giliran warga yang bermukim di sekitar Waduk Pluit duduk satu meja makan dengan gubernurnya. Misi Jokowi sedikit lebih berat saat itu. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menggeser warga masuk ke rumah susun agar dapat menata waduk seluas 80 hektar itu.

Kekerasan hati warga yang puluhan tahun bermukim di sekitar waduk itu sampai membuat Jokowi dua kali mengundang perwakilan warga ke Balaikota. Di meja makan yang tertutup bagi media massa itu, cerita Heru, Jokowi bicara dari ke hati dengan para perwakilan.

Pertimbangan soal kelaikan hidup warga di rusun yang dijamin lebih baik menjadi cara Jokowi bicara mendekati warga. "Bahkan tak jarang, Pak Jokowi yang mengambil nasi misalnya untuk warga. Sambil makan, mereka saling bicara, kita harapkan tentunya juga saling mendengar. Begitulah yang terjadi," lanjut Heru.

Tersulit

Makan siang bersama yang berikutnya berlangsung pada Agustus 2013. Menurut Heru, ini adalah makan siang tersulit. Kali ini yang diundang adalah para pemilik bus metromini di Jakarta. Jokowi mengundang mereka untuk bersama-sama merevitalisasi fasilitas angkutan umum tersebut.

Penolakan, pengajuan pertimbangan, dan adu argumen, tutur Heru, menghiasi jalannya makan siang sang Gubernur. Toh, saat makanan penutup dibuka, para pengusaha metromini itu sudah sepakat untuk masing-masing memperbaiki armada demi keselamatan penumpang, konsumen mereka.

Makan siang tetap menjadi salah satu cara pendekatan Jokowi, ketika berhadapan dengan pedagang Blok G Pasar Tanah Abang dan warga yang bermukim di sekitar Waduk Ria Rio. Dua makan siang digelar pada awal dan akhir September 2013.

Barangkali falsafah Jawa "nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji" adalah "jurus" andalan Jokowi. Dalam bahasa Indonesia, saloka itu secara harfiah berarti "menyerbu tanpa pengerahan pasukan, menang tanpa mempermalukan, dan ampuh tanpa perlu ilmu kesaktian". Tafsir umumnya, hasil terbaik dapat dicapai tanpa perlu tindakan kekerasan, bersikap merendahkan atau mempermalukan, ataupun strategi yang bertele-tele.

"Setiap setelah makan siang, kami evaluasi, apa yang kurang. Kenyataannya hampir semua di lapangan berjalan. Warga di waduk semuanya mau pindah ke rusunawa, pemilik metromini mulai memperbaiki armada, PKL Tanah Abang mulai masuk ke Blok G, berhasil semua," kata Heru.

Bagaimana dengan penolak Lurah Susan? Heru mengaku langsung mengernyitkan dahi ketika beberapa waktu lalu sang Gubernur menginstruksikannya untuk mengatur jadwal makan siang bersama warga di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Warga diketahui menolak keberadaan lurahnya, Susan Jasmine Zulkifli, yang ditugaskan ke wilayah itu setelah lolos lelang jabatan. Penolakan terjadi karena Susan berbeda agama dengan para penolak yang mengaku sebagai warga setempat.

Heru mengaku ragu, apakah "jurus" makan siang akan efektif untuk kasus ini. "Kami kan punya semacam intelijen di lapangan juga. Kami tahu itu ada pihak yang ada di baliknya. Ada eks PNS yang tak suka dengan lurah baru. Makanya dipakai agama untuk mengakomodasi massa menolak lurah, kami tahu semua itu," lanjut Heru tanpa mau merinci siapa yang dimaksudkannya.

Namun, pengalaman keberhasilan makan siang Jokowi bersama warga sebelumnya menjadi penguat keyakinannya untuk menggelar cara serupa. Apakah hasilnya akan kembali sama? Kita tunggu saja.

Sumber: kompas.com

Minggu, 29 September 2013

Basuki: Jadi Capres, Jokowi Harus Letakkan Jabatan Gubernur

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat berada di Ideafast, Senayan, Jakarta, Sabtu (28/9/2013).

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, seandainya nanti Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mencalonkan diri menjadi presiden, maka dia tidak boleh cuti dari tugas sebagai gubernur, tetapi harus mengundurkan diri.

Nantinya, kata Basuki, Fraksi Gerindra dan fraksi PDI Perjuangan di DPRD DKI Jakarta akan memilih satu calon untuk mendampinginya sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.

"Kalau beliau maju harus berhenti jadi Gubernur, tidak bisa cuti. Dan wakilnya tergantung PDI-P dan Gerindra mau mencalonkan siapa dan nantinya akan diseleksi, saya tidak berhak memilih," kata Basuki saat menjawab pertanyaan salah seorang mahasiswa saat menjadi pembicara di depan mahasiswa baru Universitas Trisakti, Jakarta, Minggu (29/9/2013).

Meskipun begitu, Basuki mengaku bingung dengan keadaan tersebut. Apalagi jika nantinya Jokowi harus bersaing dengan Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, partai tempat Basuki bernaung.

Namun, Basuki pun mengakui jika nantinya Jokowi bisa terpilih menjadi presiden, tugasnya sebagai Gubernur DKI akan banyak terbantu oleh Jokowi. "Beliau (Jokowi) nantinya bersaing dengan bos saya (Prabowo), kalau dicalonkan. Kalau Pak Jokowi jadi presiden, akan menguntungkan buat saya, bisa dibantu oleh pusat," kata Basuki.

Sumber: kompas.com

Serangan kepada Jokowi Tak "Dibeli" Publik

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersama warga saat meninjau acara bakti sosial di Wihara Amurva Bhumi, Jalan Dokter Satrio, Jakarta Selatan, Minggu (15/9/2013) pagi.

Gubernur DKI Joko Widodo menjadi sasaran tembak. Sepak terjang di pemerintahannya menyedot komentar miring. Mulai dari, sebut saja Ruhut Sitompul, hingga Amien Rais menyatakan Jokowi tak sebaik yang diberitakan di media massa. Namun, publik tetap membelanya. Serangan malah berbalik kepada Ruhut dan Amien. Mengapa kondisi tersebut bisa terjadi?

Pengamat politik LIPI Siti Zuhro mengungkapkan, serangan pernyataan tersebut tak lepas dari konteks perebutan kekuasaan pada Pemilu Presiden 2014 mendatang. Semua elite, tokoh, pejabat, dan lain-lain yang memiliki kepentingan untuk masuk ke dalam sebuah kompetisi politik rela menciptakan opini tertentu di masyarakat.

"Tapi nyatanya komentar-komentar mereka itu istilahnya tidak "dibeli" sama publik. Karena apa? ya karena civil society sudah menjatuhkan pilihan mereka kepada Jokowi. Dia punya bukti kerja yang konkret daripada yang lain," ujar Siti ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (29/9/2013).

Siti mengatakan, dalam kompetisi politik, elite dan tokoh di Indonesia dianggap masih learning by doing dalam mencari isu atau wacana untuk jadi bahan pertarungan. Sayangnya, terkadang isi pernyataan para elite tersebut tak substantif. Kerap kali, sensasi lebih diutamakan daripada isi, sambil berharap komentarnya mendikte publik.

Contohnya, lanjut Siti, ya seperti yang keluar dari mulut Ruhut Sitompul dan Amien Rais. Ruhut menuding Jokowi tak lebih baik dari pemimpin Jakarta sebelumnya, atas dasar Ibu Kota masih macet dan banjir. Amien menyamakan Jokowi dengan bintang film yang jadi Presiden Filipina, Joseph Estrada. Jokowi dianggap dipilih menjadi Gubernur DKI Jakarta hanya karena popularitas.

Lantas, apa yang terjadi? Koran, televisi, media elektronik, bukannya menayangkan kebutuhan publik, malah terpaksa memunculkan wacana murahan, debat saling menjatuhkan secara personal. Tentu kondisi tersebut, kata dia, tidak memberikan pendidikan demokrasi yang baik bagi masyarakat.

"Harusnya, kompetisi politik itu mengarah pada konsolidasi demokrasi yang baik antara tokoh. Namun, yang terjadi malah pembelokan konsolidasi itu. Semua statement terdistorsi," ujarnya.

Kendati demikian, sebagian besar masyarakat, seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, telah menjatuhkan pilihan. Kekuatan civil society tampaknya sudah terbentuk. Survei soal Jokowi selalu memuncaki tokoh dan elite lain adalah bukti, dominasi masyarakat sebenarnya telah memilih.

Apa akibatnya? Komentar-komentar miring yang selalu berseliweran jelang perebutan kekuasaan tidak dapat lagi mendikte opini publik yang sebagian besar telah menjatuhkan pilihan kepada Jokowi. Malah "peluru tembak" kembali kepada sang tuan.

"Tiap masa, ada pemimpinnya. Pemimpin santun sudah lewat masanya. Sekarang itu pemimpin yang komunikatif, yang bersahaja, yang auranya mampu meyakinkan publik bahwa kebutuhan-kebutuhan pokok mereka dapat diakomodasi, dapat dipenuhi dan dapat diusahakan," ujarnya.

Jika sudah demikian, ucap Siti, peristiwa saweran terpilihnya Barack Obama menjadi Presiden AS bukan mustahil terjadi di Indonesia. Rakyat rela merogoh kantongnya untuk "membeli" pemimpin yang menang dalam kompetisi politik. Tak perlu lagi cukong-cukong berjudi menginventasikan uang mereka dalam bursa calon pemimpin.

"Ini juga mengubah wajah politik Indonesia, yang tadinya terkesan korup, mahal, dan penuh atas transaksi menjadi sederhana saja karena publik sudah melihat kompetisi yang benar," jelas Siti.

Namun, Siti sangat menyayangkan, tidak banyak tokoh yang mampu memenangkan hati rakyat melalui kompetisi politik yang baik. Dia berharap learning by doing demokrasi para elite Indonesia dapat menciptakan Jokowi-Jokowi lain. Tentu, dengan pengawasan yang ketat dari seluruh stakeholder pemerintahan di Indonesia.

Sumber: kompas.com

Empat Anak Asuh Basuki Lulus Cum Laude di Trisakti

Basuki Tjahaja Purnama.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat menjadi pembicara di depan mahasiswa baru Universitas Trisakti, Jakarta, Minggu (29/9/2013), mengaku telah mengirimkan empat anak asal Belitung untuk kuliah di Universitas Trisakti.

"Saya kirim empat anak ke Trisakti dan mereka lulus cum laude. Ada satu anak pesantren, namanya Santi, 3,8 IP-nya kalau enggak salah, saya aja cuma 2,7. Sekarang Santi lagi mau ambil S-2 di Jepang," kata Basuki.

Menurut Basuki, apa yang dia lakukan merupakan nasihat yang pernah disampaikan ayahnya. Kata Basuki, ayahnya berpesan kalau kita menjadi pejabat, maka kita dapat menciptakan orang-orang seperti Santi dan ketiga temannya yang lain tersebut.

Basuki berujar, sebelumnya dia tidak pernah bercita-cita menjadi politisi. Dia lebih ingin menjadi pengusaha. Itulah yang membuat dia tidak pernah ikut dalam organisasi kemahasiswaan saat masih aktif kuliah. Dia bahkan tak pernah terlibat OSIS dan Pramuka saat masih duduk di bangku SMA.

"Saya tidak pernah ikut Senat, lebih sibuk dagang. Waktu SMA tidak pernah ikut OSIS dan Pramuka, lebih sibuk cari uang," ungkap Basuki.

Sumber: kompas.com