Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersama warga saat meninjau acara bakti sosial di Wihara Amurva Bhumi, Jalan Dokter Satrio, Jakarta Selatan, Minggu (15/9/2013) pagi.
Gubernur DKI Joko Widodo menjadi sasaran tembak. Sepak terjang di pemerintahannya menyedot komentar miring. Mulai dari, sebut saja Ruhut Sitompul, hingga Amien Rais menyatakan Jokowi tak sebaik yang diberitakan di media massa. Namun, publik tetap membelanya. Serangan malah berbalik kepada Ruhut dan Amien. Mengapa kondisi tersebut bisa terjadi?
Pengamat politik LIPI Siti Zuhro mengungkapkan, serangan pernyataan tersebut tak lepas dari konteks perebutan kekuasaan pada Pemilu Presiden 2014 mendatang. Semua elite, tokoh, pejabat, dan lain-lain yang memiliki kepentingan untuk masuk ke dalam sebuah kompetisi politik rela menciptakan opini tertentu di masyarakat.
"Tapi nyatanya komentar-komentar mereka itu istilahnya tidak "dibeli" sama publik. Karena apa? ya karena civil society sudah menjatuhkan pilihan mereka kepada Jokowi. Dia punya bukti kerja yang konkret daripada yang lain," ujar Siti ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (29/9/2013).
Siti mengatakan, dalam kompetisi politik, elite dan tokoh di Indonesia dianggap masih learning by doing dalam mencari isu atau wacana untuk jadi bahan pertarungan. Sayangnya, terkadang isi pernyataan para elite tersebut tak substantif. Kerap kali, sensasi lebih diutamakan daripada isi, sambil berharap komentarnya mendikte publik.
Contohnya, lanjut Siti, ya seperti yang keluar dari mulut Ruhut Sitompul dan Amien Rais. Ruhut menuding Jokowi tak lebih baik dari pemimpin Jakarta sebelumnya, atas dasar Ibu Kota masih macet dan banjir. Amien menyamakan Jokowi dengan bintang film yang jadi Presiden Filipina, Joseph Estrada. Jokowi dianggap dipilih menjadi Gubernur DKI Jakarta hanya karena popularitas.
Lantas, apa yang terjadi? Koran, televisi, media elektronik, bukannya menayangkan kebutuhan publik, malah terpaksa memunculkan wacana murahan, debat saling menjatuhkan secara personal. Tentu kondisi tersebut, kata dia, tidak memberikan pendidikan demokrasi yang baik bagi masyarakat.
"Harusnya, kompetisi politik itu mengarah pada konsolidasi demokrasi yang baik antara tokoh. Namun, yang terjadi malah pembelokan konsolidasi itu. Semua statement terdistorsi," ujarnya.
Kendati demikian, sebagian besar masyarakat, seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, telah menjatuhkan pilihan. Kekuatan civil society tampaknya sudah terbentuk. Survei soal Jokowi selalu memuncaki tokoh dan elite lain adalah bukti, dominasi masyarakat sebenarnya telah memilih.
Apa akibatnya? Komentar-komentar miring yang selalu berseliweran jelang perebutan kekuasaan tidak dapat lagi mendikte opini publik yang sebagian besar telah menjatuhkan pilihan kepada Jokowi. Malah "peluru tembak" kembali kepada sang tuan.
"Tiap masa, ada pemimpinnya. Pemimpin santun sudah lewat masanya. Sekarang itu pemimpin yang komunikatif, yang bersahaja, yang auranya mampu meyakinkan publik bahwa kebutuhan-kebutuhan pokok mereka dapat diakomodasi, dapat dipenuhi dan dapat diusahakan," ujarnya.
Jika sudah demikian, ucap Siti, peristiwa saweran terpilihnya Barack Obama menjadi Presiden AS bukan mustahil terjadi di Indonesia. Rakyat rela merogoh kantongnya untuk "membeli" pemimpin yang menang dalam kompetisi politik. Tak perlu lagi cukong-cukong berjudi menginventasikan uang mereka dalam bursa calon pemimpin.
"Ini juga mengubah wajah politik Indonesia, yang tadinya terkesan korup, mahal, dan penuh atas transaksi menjadi sederhana saja karena publik sudah melihat kompetisi yang benar," jelas Siti.
Namun, Siti sangat menyayangkan, tidak banyak tokoh yang mampu memenangkan hati rakyat melalui kompetisi politik yang baik. Dia berharap learning by doing demokrasi para elite Indonesia dapat menciptakan Jokowi-Jokowi lain. Tentu, dengan pengawasan yang ketat dari seluruh stakeholder pemerintahan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar