Mengelilingi Jakarta akhir-akhir ini terlihat perbedaan mencolok dibandingkan dengan kondisi Ibu Kota setahun silam. Melewati kawasan Pasar Minggu di Jakarta Selatan memang masih ada satu-dua pedagang yang nakal menjajakan barang di trotoar, tetapi tidak sampai menyita sebagian badan jalan. Belum lagi jika melongok ke Tanah Abang di Jakarta Pusat.
Wuih, jalanan mulus. Sepertinya cuma butuh satu sentuhan penertiban lagi, yaitu menata parkir mobil di badan jalan dan truk bongkar muat tepat di depan deretan ruko di sekitar Tanah Abang.
Perubahan Jakarta bukan hanya itu. Beberapa waduk yang biasanya tertutup sampah, eceng gondok, dan rumah-rumah semipermanen milik penghuni liar mulai ditertibkan. Kalau tidak percaya, bolehlah mampir ke Waduk Pluit di Jakarta Utara dan Waduk Ria Rio di Jakarta Timur.
Tentu perubahan fisik yang terjadi tak serta-merta mengubah Jakarta. Upaya pemerintahan daerah saat ini baru sedikit dari sejumlah program penanggulangan kemacetan, pengendalian banjir, sampai menata kota agar lebih manusiawi. Pekerjaan rumah pemerintah masih berderet panjang dan tentu butuh waktu.
Perhatikan saja kanan-kiri Tol TB Simatupang hingga Jagakarsa di Jakarta Selatan yang berbatasan dengan Depok, Jawa Barat. Di kawasan ini, gedung tinggi tumbuh subur. Padahal, kawasan ini sudah ditetapkan sebagai daerah konservasi. Aturan tersebut diterapkan guna melindungi tabungan air tanah dan keseimbangan lingkungan Jakarta. Di kawasan ini ada Situ Babakan yang dilestarikan sekaligus menjadi kampung budaya Betawi. Namun, tentu keberadaan satu situ dalam kondisi bagus tak memadai untuk mengemban tugas penyeimbang lingkungan.
Di era kepemimpinan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, masyarakat berharap Jakarta akan diurus secara profesional, tetapi manusiawi. Maklum saja, seperti pendapat Susan Blackburn, selama lebih dari 400 tahun usia Jakarta, kota ini dibangun untuk tujuan sesaat sesuai keinginan penguasanya saja.
Menurut pendapat penulis buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun itu, Belanda membangun Kota Tua sampai kawasan Menteng untuk kepentingan eksploitasi ekonominya dan memberi tempat layak bagi orang-orang "Negeri Kincir Angin" itu di Batavia. Kebijakan yang diambil demi kepentingan segelintir orang, diyakini Blackburn, terus terjadi hingga masa kini.
Sejarawan Restu Gunawan menyebutkan, apa yang terjadi saat ini di Jakarta karena pengabaian terhadap lingkungan yang telah berlangsung selama empat abad terakhir. Berabad silam, hutan dibabat dan rawa diuruk di daratan Teluk Jakarta kemudian dijadikan kota kerajaan hingga kemudian diambil alih Belanda. Istilah mengatasi masalah hanya dengan mengandalkan proyek infrastruktur fisik nyata telah terus berulang.
Dalam buku Restu berjudul Gagalnya Sistem Kanal disebutkan, akibat banjir pada tahun 1830, ibu kota Hindia Belanda terpaksa dipindahkan dari kota lama Batavia ke Weltevreden. Fakta ini menjadi dasar sebuah analisis, yaitu jika masalah banjir tidak kunjung diatasi, bukan mustahil Jakarta bakal tenggelam dan terpaksa ditinggalkan warga untuk selamanya. Ini akan terjadi pada tahun 2030-an saat tibanya siklus banjir 200 tahunan.
Buku itu juga mengungkapkan bahwa kanal-kanal yang dibuat Belanda dan kini diadopsi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bukan solusi tepat karena mengabaikan kondisi geografis Jakarta sebagai kota yang berada di daerah dataran sangat rendah.
Membangun selaras dengan lingkungan dan memperhatikan kepentingan setiap warganya, yang tak melulu dari kalangan tertentu saja, juga menjadi kritik Blackburn. Perempuan asal Australia ini bahkan mengkritik kebijakan Soekarno yang membangun proyek besar, seperti Monas, Gelora Bung Karno, dan Bundaran HI, tetapi Ibu Kota sebagai wajah bangsa sejak awal tak pernah punya perencanaan dan realisasi pembangunan transportasi publik yang memadai.
Tidak berkesinambunganPengamat perkotaan Nirwono Joga tak setuju dengan pendapat Blackburn. Menurut penggerak dan penulis beberapa seri buku kota hijau yang biasa dipanggil Yudi itu, pada masa Gubernur Ali Sadikin, banyak perencanaan pembangunan dan kebijakannya yang visioner dan prorakyat.
Simak saja program gubernur yang ditunjuk langsung oleh Bung Karno itu seperti penataan pinggir kali sekaligus menata kampung. Bukan hanya untuk menanggulangi banjir, programnya juga dianggap bisa mengatasi kekumuhan dan kemiskinan yang telah melanda Jakarta saat itu.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa hingga saat ini masalah-masalah yang sama terus terjadi? Yudi menyatakan, kesalahan selama ini adalah tidak ada kesinambungan program pembangunan.
Masalah lain adalah setelah Ali Sadikin, tidak ada lagi pemimpin berkarisma dan memiliki pemikiran jauh ke depan. Ya, setidaknya, Yudi berharap, sekarang pemimpin yang diidamkan banyak orang itu baru muncul kembali.
Akan tetapi, tanpa sebuah mimpi besar yang mengikat warga dan pemimpinnya, Yudi yakin Jakarta akan kembali terpuruk menjadi kawasan tak beradab setelah ditinggalkan "dirigennya" kelak. Paling tidak, sejak kini harus dibentuk kelompok-kelompok warga yang loyal kepada gubernur dan berfungsi sebagai penggerak perubahan di tingkat RT/RW sampai kelurahan dan kecamatan.
Tim ini untuk menyosialisasikan program gubernur sekaligus mengawasi realisasi program pemerintah di lapangan, bukan urusan politik.
Yudi juga meyakini semangat perubahan yang kini merebak menjangkiti warga Jakarta harus dikelola agar selalu menyala. Mengemas program pembangunan Jakarta untuk bersama-sama meraih sesuatu yang membanggakan bisa dilakukan, misalnya Jakarta jadi tuan rumah Olimpiade 2052. Dari situ baru diturunkan program jangka pendek, menengah, dan panjang untuk 30 tahun ke depan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar