Puluhan mikrolet diparkir menunggu jatah menarik penumpang di Terminal Kampung Melayu, Jakarta.
Timur,Hampir dua pekan pasca-kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, tarif angkutan kota di Jakarta tak kunjung disesuaikan. Penyebabnya tidak lain adalah tarik ulur antara dua pihak, yakni Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta.
Tarik ulur antara dua lembaga negara itu dimulai sejak Pemprov DKI mengusulkan tarif baru angkutan kota pada Selasa (25/6/2013) lalu. Kala itu, atas usulan dari Dinas Perhubungan DKI, Organisasi Angkutan Darat, dan Dewan Transportasi Kota Jakarta, disepakati penyesuaian tarif berlaku terhadap tiga kategori moda transportasi, yakni bus kecil, bus sedang, dan bus besar yang masing-masing naik menjadi Rp 3.000 atau sebesar 30 persen. Adapun tarif bus transjakarta tetap Rp 3.500.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengatakan, tarif baru yang diusulkan hanya diperuntukkan bagi angkutan kota kelas ekonomi. "Kalau yang bukan ekonomi, diserahkan kepada mekanisme pasar yang ada," ujar Joko Widodo.
Sesuai mekanisme berlaku, hari itu juga Pemprov DKI mengirimkan usulan tarif baru itu pada DPRD DKI untuk dibahas di tingkat komisi terlebih dulu. Anggota DPRD DKI Komisi B, Selamat Nurdin, mengatakan bahwa usulan tersebut telah selesai dibahas. Komisi B sepakat atas usulan Gubernur. Salah satu alasan Komisi B menyepakati usulan itu adalah insentif Pemprov DKI pada pengusaha angkot dalam bentuk pembebasan retribusi kir, retribusi keluar-masuk terminal, dan retribusi lain.
Pimpinan bersikap lain
Mulus di tataran komisi, usulan tarif kemudian dibawa ke rapat pimpinan komisi DPRD yang diselenggarakan pada Jumat (28/6/2013). Dalam rapat itu, sejumlah pimpinan komisi merasa tak puas atas usulan Pemprov DKI.
Setidaknya ada tiga hal yang diminta Dewan untuk diperbaiki oleh lembaga eksekutif. Pertama, pimpinan Dewan menganggap usulan itu harus mencantumkan aspirasi masyarakat, misalnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.
Permintaan kedua, eksekutif harus memberi jaminan perbaikan pelayanan dan fasilitas. Ketiga, eksekutif juga wajib mencantumkan hasil evaluasi tarif angkutan antarpulau dalam usulan tarif baru. Singkat kata, usulan itu tak jadi diketuk palu dan dikembalikan kepada eksekutif untuk dilengkapi terlebih dahulu.
Kondisi itu menjadi ironi karena para pengusaha angkot sudah sangat kepepet dan telah menaikkan tarif secara sepihak. Padahal, Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama telah menginstruksikan kepada Dinas Perhubungan untuk menilang angkot yang menaikkan tarif sepihak.
"Harusnya cabut izin trayek. Tapi sulit, armada kita terbatas. Ini dimanfaatkan mereka," ujar Basuki.
Saling lempar
Hingga Sabtu (6/7/2013), tarif angkutan kota di DKI tak kunjung diputus. Hal itu jelas melanggar imbauan pemerintah pusat yang mengungkapkan bahwa penyesuaian tarif angkot dilakukan maksimal 10 hari setelah pengumuman kenaikan harga BBM. Namun, eksekutif dan legislatif di Jakarta seakan saling menunjukkan kekuasaan masing-masing.
Gubernur Joko Widodo menganggap tidak perlu melengkapi permintaan DPRD DKI. Alasannya, usulan itu disepakati stakeholder transportasi. Perbaikan pelayanan transportasi, seperti yang diminta DPRD, sudah pasti dilakukan. Oleh sebab itu, perbaikan itu tak perlu dicantumkan dalam pengajuan usulan tarif baru.
Angkutan antarpulau yang menggunakan bahan bakar tak bersubsidi diserahkan ke mekanisme pasar dan tak harus dicantumkan. Jokowi pun membiarkan kondisi itu berlarut-larut tanpa penyelesaian. "Biar yang mendesak masyarakat sendiri," ujar Jokowi.
Di lain sisi, Wakil Ketua DPRD DKI Tri Wisaksana menilai Pemprov DKI menggantungkan keputusan penyesuaian tarif angkutan kota di DKI. Sebab, permintaan DPRD DKI tidak kunjung dipenuhi sehingga keputusan tarif angkot luntang-lantung.
Pada Kamis (4/7/2013), pimpinan DPRD DKI telah mengirimkan surat ke Pemprov DKI agar segera menjawab permintaan Dewan untuk bisa diputuskan. "Itu akan jadi lampiran surat rekomendasi DPRD agar kepentingan penumpang atau konsumen juga dilindungi oleh pemerintah," ujar Wisaksana.
Lantas, kapan tarif angkutan kota di Jakarta bisa diputuskan jika kedua institusi tersebut saling lempar? Entahlah, yang jelas rakyat tak bisa menunggu.
Sumber: kompas.com