Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo saat mengenakan pelampung, sesaat sebelum menyusuri Sungai Ciliwung bersama Kopassus, di Cijantung, Jakart Timur, Jumat (5/4/2013).
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta getol sekali untuk memulai pembangunan mass rapid transit (MRT) pada tahun ini. Keputusan pemenang tender rencananya bakal keluar dalam waktu dekat, meski masih banyak warga yang menolak, khususnya bila pembangunan moda transportasi massal berbasis rel ini dibangun dengan konsep jalan layang.
Sebagai Gubernur, Joko Widodo berada di baris terdepan untuk menentukan nasib MRT yang telah molor bertahun-tahun. Saat ini dia fokus menggodok kesepakatan di level elite dan kontraktor yang bakal terlibat dalam pembangunan MRT. Setelah itu, barulah dia berencana "turun gunung", mendekati warga untuk mencairkan kerasnya penolakan.
Alasan mantan Wali Kota Surakarta itu menomorduakan penolakan warga adalah agar langkah penentuan pembangunannya dapat lebih cepat. Dia khawatir realisasi MRT akan terus molor bila terlalu sibuk mengurusi gelombang penolakan.
Penolakan warga, kata Jokowi, didasari rencana pemerintah yang akan merealisasikan MRT dengan jalur layang karena dianggap mengganggu dan khawatir kumuh. Pasalnya, warga Lebak Bulus dan Fatmawati meminta MRT dibangun di bawah tanah. Namun, permintaan itu belum bisa dipenuhi karena pembangunan bawah tanah memerlukan biaya yang jauh lebih mahal.
"Kalau kami hanya mikir gitu terus, MRT enggak akan kami putuskan dan enggak akan jalan. Nanti mengenai problem seperti itu (penolakan warga) akan kami lakukan pendekatan," kata Jokowi, Selasa (9/4/2013).
Namun, langkah Jokowi kali ini dianggap mengecewakan. Bahkan, sejumlah pihak menilainya ingkar dengan apa yang telah dijanjikan sebelumnya. Mengapa?
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Azas Tigor Nainggolan menyayangkan sikap Jokowi yang menomorduakan penolakan warga. Menurut dia, proses penentuan pemenang tender dan menyelesaikan gejolak penolakan harus dilakukan secara bersamaan. Tigor bersikukuh dengan pendapatnya lantaran tuntutan warga ke depannya akan berkaitan dengan perjanjian bersama pemenang tender. Bila tak melibatkan warga, Tigor khawatir gelombang penolakan bakal memengaruhi pembangunan MRT di kemudian hari.
Di luar itu, warga juga harus dilibatkan lebih dalam dengan alasan sebagai pengawas rencana pembangunan. Warga yang akan bersentuhan langsung, kata Tigor, berhak mengetahui hasil analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) pembangunan MRT.
"Warga Jakarta ini memang menunggu MRT, tapi pastikan dulu semuanya harus clear. Ini penting, Gubernur harus menyelesaikan semuanya bersamaan," kata Tigor kepada Kompas.com, Selasa malam.
Secara terpisah, Alex Tarore, perwakilan warga Fatmawati yang menolak MRT dibangun dalam bentuk jalan layang, mengaku kecewa dengan sikap Jokowi. Kekecewan itu dilandasi karena merasa dinomorduakan setelah Jokowi lebih memilih fokus bernegosiasi di level elite dan kontraktor. Bahkan, Alex menuding Jokowi mengingkari janjinya untuk melibatkan warga dalam tim kajian pembangunan MRT.
Selain menuntut MRT dibangun di bawah tanah, warga Fatmawati dan Lebak Bulus juga meminta hasil Amdal yang terbaru. Pasalnya, Amdal terakhir dikeluarkan pada 2005 (hanya berlaku tiga tahun), sebagai syarat saat Kementerian Keuangan akan mengajukan pinjaman megaproyek MRT ke Japan International Cooperation Agency (JICA).
"Kalau (tidak melibatkan warga) begini namanya Pak Jokowi ingkar janji. Sebenarnya kami mendukung MRT, asalkan dibangun subway (bawah tanah) dan tunjukkan hasil Amdal terbarunya. Amdal sebelumnya itu cuma sampai 2008," ujar Alex.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta akan segera mengumumkan pemenang tender MRT. Rencananya, pemenang tender proyek senilai Rp 15 triliun itu akan diumumkan bulan ini. Saat ini, semua persiapan administrasi masih dalam proses, termasuk administrasi bersama Kementerian Keuangan dan JICA.
Peserta lelang dalam megaproyek MRT ini adalah PT Wijaya Karya (Wika) dan Jaya Konstruksi yang menjadi bagian dari konsorsium pengerjaan paket bawah tanah dari Jalan Sisingamangaraja hingga Bundaran Hotel Indonesia. Kedua perusahaan akan membangun MRT bersama perusahaan asal Jepang, yakni Shimizu dan Obayashi.
Pembagian kerja di antara empat perusahaan dalam satu konsorsium tersebut adalah 70 persen dikerjakan oleh Shimizu dan Obayashi, yang dibagi dua, masing-masing menanggung 35 persen. Sementara PT Wika dan Jaya Konstruksi mendapat bagian pekerjaan masing-masing 15 persen. PT Wika juga mengikuti proses tender untuk pengerjaan MRT paket layang (Lebak Bulus sampai Al Azhar) 101, 102, dan 103. Namun, dalam paket layang, Wika akan bekerja sama dengan perusahaan Jepang, Tokyu.
Selain konsorsium itu, peserta lelang lainnya ialah konsorsium Hutama Karya (HK) bersama dengan perusahaan Jepang, Sumitomo Mitsui Construction Company. Total tender pengerjaan MRT untuk tiga paket bawah tanah adalah Rp 4 triliun hingga Rp 4,5 triliun.
Sumber: kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar