Tidak dapat diragukan lagi bahwa Joko Widodo atau yang lebih dikenal dengan nama julukan JOKOWI merupakan sosok yang saat ini cukup fenomenal di Indonesia. Jokowi adalah mantan Walikota Surakarta ini telah menjadi buah bibir di tengah-tengah masyarakat luas, semenjak dirinya mempopulerkan mobil SMK beberapa saat yang lalu.

Jokowi yang lahir di Surakarta pada 21 Juni 1961 ini semakin menjadi perbincangan masyarakat ketika secara resmi mencalonkan diri sebagai calon Gubernur untuk DKI Jakarta yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Pembangunan (PDI-P) yang berkolaborasi dengan Partai Gerindra.
Dalam pencalonan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama yang juga sering dijuluki sebagai Ahok.



Sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sebenarnya sudah lebih duluan populer dimata masyarakat Solo. Terbukti selama 2 priode terakhir menjabat sebagai Walikota di Surakarta, Jokowi telah mampu melakukan perubahan yang sangat pesat di kota ini. Dibawah kepemimpinan Jokowi, Kota Solo telah menjadi branding dengan slogan Kota, yaitu "Solo: The Spirit of Java".
Baca biografi lengkap beliau DISINI

Baca biografi wakil beliau ( AHOK ) DISINI

Kamis, 24 Januari 2013

Pengamat: Jokowi-Basuki Buka Kultur Baru Birokrasi

Seratus hari memimpin Jakarta, plus-minus kinerja Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Wakil Gubernur Basuki T Purnama menjadi sorotan. Diwarnai beberapa pandangan miring terkait penanganan bencana banjir lima tahunan, pasangan pemimpin Jakarta dinilai memiliki banyak sisi positif, terutama dalam mengubah kultur kerja birokrasi.

"Jokowi-Ahok mengubah kultur yang selama ini kental di lingkungan pemda. Mereka telah menghadirkan gaya kerja berbeda yang terhitung langka pada lingkup birokrasi," kata pengamat komunikasi politik Ari Junaedi saat dihubungi Kompas.com, Rabu (23/1/2013).

Ari menjelaskan, dengan cara terjun langsung ke lapangan, Jokowi tidak hanya melihat langsung kondisi dan problem yang dialami warga. Gubernur DKI juga bisa menyaksikan secara gamblang bagaimana birokrasi di tingkat yang lebih rendah menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat.

"Pejabat tidak bisa lagi asal melapor informasi yang dibuat-buat atau sajikan data yang tidak benar karena dia melihat langsung di lapangan," urai pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia ini.

Dalam pandangan Ari, dengan gaya kebanyakan pemimpin yang lebih banyak menghabiskan waktu di kantor atau untuk kegiatan formal, pemantauan terhadap kegiatan bawahan dan pelaksanaan tugas di lapangan acap kali tersisihkan. Mentalitas yang terbentuk di lingkup birokrasi pun sebatas memenuhi prosedur. Pasalnya, pengawasan terhadap kinerja hanya didasarkan pada laporan yang diterima.

"Ini berbeda dengan yang dilakukan Jokowi. Untuk tahu bagaimana bawahannya melayani warga, dia datangi sendiri kantor kecamatan dan kelurahan. Akhirnya, kan, ketahuan pegawai-pegawai itu datangnya jam berapa," lanjut Ari.

Terobosan yang mengubah kultur birokrasi, dalam penilaian Ari, juga dilakukan Wakil Gubernur Basuki. Ari menilai Basuki telah mempertahankan komitmennya untuk membersihkan birokrasi dan bersikap transparan dalam pengelolaan anggaran.

"Meng-upload rapat-rapat di lingkup pemda ke Youtube dengan tujuan agar masyarakat luas tahu bagaimana anggaran dibahas dan menunjukkan ketegasan untuk memprioritaskan kebutuhan warga. Ini mengubah kultur yang selama ini terjadi di lingkup pemerintah, rapat-rapat, apalagi pembahasan anggaran selalu tertutup," kata Ari.

Meski demikian, ada juga catatan bagi pasangan Jokowi-Basuki yang disampaikan Ari. Menurut Ari, banyaknya problematika Ibu Kota mengharuskan Jokowi-Basuki memberikan prioritas dalam kebijakan. Sejauh ini, keduanya masih terlihat merangkum semua kemungkinan solusi.

"Jokowi terlalu banyak keluarkan jurus. Seharusnya dia bisa pilih mau fokus ke mana dulu. Misalnya dalam penanganan banjir, prioritasnya mau ke deep tunnel atau apa," ujar Ari.

Ari juga menilai Jokowi-Basuki menjadi dua figur yang terlalu sentral dalam pemerintahan DKI. Pejabat lain yang mendampingi keduanya belum mampu mencapai kecepatan dan kelugasan keduanya dalam bekerja dan mengambil keputusan.

Alhasil, gubernur dan wagub terkesan bekerja sendiri. Padahal, kesuksesan akan sangat ditentukan kemampuan keduanya membangun tim birokrasi yang saling menopang.

"Ibarat bermain sepak bola, dua striker ini tidak bisa apa-apa tanpa dukungan pemain lain di belakang mereka. Team work harus kuat baru bisa dapat hasil maksimal. Selama ini speed Jokowi-Ahok sudah tinggi, tapi yang di sekelilingnya masih begitu-begitu saja, akhirnya keteteran," ujar Ari.

Sumber : kompas.com

Jokowi: Jangan Ada Lagi Anak-anak Hidup di Jalanan

 
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo berharap tidak ada lagi anak-anak yang hidup di jalanan karena mereka semestinya ditampung di tempat yang layak. Hal itu dikatakan Jokowi saat meresmikan empat gedung panti sosial, yakni Gedung Panti Sosial Asuhan Anak Putera Utama 2, yang beralamatkan di Tanjung Priok, Jakarta Utara; Panti Sosial Asuhan Anak Putera Utama 6 yang beralamatkan di Cengkareng, Jakarta Barat; Panti Sosial Asuhan Anak Balita Tunas Bangsa yang beralamatkan di Cipayung, Jakarta Timur; dan Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa yang beralamatkan di Daan Mogot, Jakarta Barat.

Mengenakan baju khas Betawi dan didampingi Kepala Dinas Sosial Kian Kelana dan Wali Kota Jakarta Barat Burhanuddin, Jokowi menandatangani prasasti sebagai tanda peresmian empat gedung tersebut. Menurut mantan Wali Kota Solo itu, dengan adanya panti-panti sosial tersebut, Pemprov DKI dapat memberikan pelayanan kepada anak-anak jalanan yang masih banyak ditemui di Ibu Kota.

"Jangan sampai anak jalanan masih ada di jalanan. Mereka bisa ditampung di sini. Tunagrahita juga ditampung di panti sosial ini," kata Jokowi.

Menurut Jokowi, agar para penghuni panti, atau yang biasa disebut warga binaan sosial, tidak kabur dari panti, mereka harus diberikan pendekatan pelayanan yang berbeda dari pendekatan yang sudah ada.

Saat ini, kata Jokowi, sudah banyak rumah singgah yang dikelola oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tetapi, menurutnya, fasilitas di panti sosial milik Pemprov DKI jauh lebih memadai. "Fasilitas di sini lebih baik. Gabungan antara pendekatan LSM dan pelayanan yang difasilitasi. Pokoknya jangan sampai di jalanan masih ada anak-anak jalanan," ujarnya.

Pada kesempatan itu, Jokowi tak memberikan sambutan. Ia hanya menandatangani prasasti yang menandakan sebanyak empat gedung panti sosial telah diresmikan. Gedung Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa pun telah memenuhi syarat Gubernur untuk berkarakter khas Betawi. Di bagian atap dan bagian terasnya, sudah terdesain dengan warna hijau dan kuning khas Betawi.

Setelah menandatangani prasasti, Jokowi langsung berkeliling lantai satu Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa dan masuk ke dalam kamar asrama, ruang kegiatan, ruang makan, dan ruang keterampilan.

Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa merupakan panti sosial yang digunakan untuk menampung dan memberikan pembinaan kepada mereka yang mengalami gangguan jiwa, seperti frustrasi karena jatuh miskin, putus cinta, narkoba, tidak kuat menuntut ilmu, dan broken home.

Panti sosial ini sudah berdiri sejak tahun 1990-an dan memiliki kapasitas sampai 350 orang untuk tahun ini. Staf panti sosial, Fatma, mengatakan panti ini hanya memberikan rehabilitasi sosial bagi para warga binaan sosial dan tidak untuk rehabilitasi secara medis. "Nanti di sini mereka diberikan pembinaan keterampilan, seperti membuat keset, sapu, kain pel, yang akan dijual di pasar dan Carrefour. Penghasilannya juga untuk mereka," kata Fatma.

Sumber: kompas.com

Dianggap Sukses, Basuki Malah Mengaku Salah

 
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengaku belum puas dengan kinerjanya. Hal ini berkaitan dengan banyaknya pujian yang datang dari berbagai kalangan terkait kepemimpinan Joko Widodo-Basuki selama 100 hari memimpin Jakarta.

"Sukses bagaimana? Enggak, enggak. Bagaimana banjir saja setengah mati," kata Basuki, di Balaikota Jakarta, Rabu (23/1/2013).

Bahkan, pria yang dikenal dengan sebutan Ahok ini malah melontarkan hal sebaliknya. Ahok mengaku salah saat Jakarta kembali dilanda banjir yang cukup hebat pada pekan lalu. Ia menjelaskan, beberapa bulan sebelumnya pihaknya telah mendapat peringatan dari Suku Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Air Jakarta mengenai banjir yang akan menggenangi Ibu Kota di medio Desember 2012 atau Januari 2013.

Namun begitu, Basuki tak pernah mengira kalau banjir yang datang bisa dikategorikan membuat Jakarta lumpuh selama beberapa hari. "Saya pikir kenanya seberapa parah sih, saya tinggal di daerah banjr sudah lama. Bukan bercanda kok, kita ngaku salah," ujarnya.

Sumber: kompas.com

Pengamat: Jokowi-Basuki itu "Newsmaker", Bukan Pencitraan

 
Pandangan miring tentang kiprah Joko Widodo dan Basuki T. Purnama atau Ahok dalam 100 hari memimpin DKI Jakarta mulai bermunculan. Salah satu yang dominan adalah aksi keduanya dianggap sekadar pencitraan, tanpa bukti konkret. Pandangan tersebut ditepis oleh pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia Ari Junaedi. Menurutnya, Jokowi-Basuki adalah magnet pemberitaan, sehingga apa pun dan ke mana pun keduanya pergi seolah-olah tak pernah lepas dari pemberitaan media.

"Jokowi-Ahok itu newsmaker yang selalu menarik untuk diberitakan media sekaligus memiliki daya tarik bagi masyarakat. Jangan heran kalau mereka selalu diliput media," terang Ari saat dihubungi Kompas.com, Rabu (23/1/2013).

Liputan yang demikian besar terhadap aktivitas keduanya, dalam penilaian Ari, tak bisa digolongkan dalam pencitraan. Sebab, pemberitaan itu bukan atas inisiatif keduanya. Ari menilai, Jokowi-Basuki tidak sengaja meminta liputan khusus atas kiprah keduanya. Namun, sikap keterbukaan yang dibarengi berbagai terobosan yang dilakukan keduanya memang selalu menarik minat media.

"Ini perlu dibedakan. Kalau pencitraan artinya ada unsur sengaja menciptakan publikasi besar-besaran. Jokowi-Basuki tidak ada unsur sengaja. Aksi blusukan Jokowi, misalnya, saya pikir, sebenarnya dia juga tidak ingin selalu diikuti kamera. Tapi, ya memang aksi seperti itu tergolong menarik karena sangat jarang dilakukan tokoh politik atau pemerintahan lain sehingga menarik perhatian banyak orang termasuk media," urai Ari.

Menurutnya, pandangan negatif yang muncul karena Jokowi lebih sering menjadi pusat pemberitaan adalah penilaian yang keliru. Kebebasan akses media dan masyarakat untuk berkontak langsung dengan mantan Wali Kota Solo itulah yang berimbas pada munculnya Jokowi sebagai newsmaker. Ari juga berpendapat, pandangan miring itu juga muncul karena besarnya harapan ketika kedua orang ini terpilih sebagai pemimpin Jakarta.

Sementara itu, pada saat yang bersamaan muncul problem yang tak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. "Ekspektasi terhadap Jokowi-Basuki demikian tinggi dan dirasa belum terjawab dalam 100 hari kerja. Inilah yang kemudian menyebabkan muncul kritikan terhadap keduanya," ujar Ari.

Salah satu kritikan tajam disampaikan oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Cak Imin, sapaan Muhaimin, menilai Jokowi lebih sering tampil di televisi dibandingkan bekerja secara terstruktur.
 
Sumber : kompas.com