Dua orang yang sedang nongkrong di warung kopi pada hari Sabtu, 18 Januari lalu, di salah satu pojok Jakarta, terlibat percakapan hangat. Yang satu, sebut saja Banu, uring-uringan berat lantaran banjir kian meninggi, dan di layar kaca tak ada sepotong pun wajah pemimpinnya. Seolah, Jakarta banjir Jokowi hilang. Untungnya, si Joni yang lebih realistis memandang peristiwa yang berlangsung di televisi dengan santai-santai saja.
"Gile bener, udah seharian begini, mana banjir udah meninggi. Parahnya lagi, Jakarta banjir Jokowi gak nongol di teve," seru Banu.
"Santai aje Coy, mungkin dianye lagi sibuk dengan urusan lain, terus belum sempet deh syuting-syuting gitu," kata Joni enteng.
"Kagak sari-sari-nya si Jokowi begini," timpal Banu lagi.
"Maksud lu?"
"Inget enggak banjir tahun lalu? Ibarat kate, Jokowi nungging aja di-shooting. Lah ini, mana banjir udah sampe segenteng rumah tingginya, eh belum juga nongol tuh bapak gubernur."
"Jangan su'udzon, siapa tahu Pak Gub memang sedang sibuk dan ogah diganggu sama awak media."
"Mana pernah Pak Jokowi menolak kehadiran wartawan?"
"Mungkin banjir kali ini perlu penanganan lebih serius, lebih fokus, maklum, hujannya awet bener...."
"Mungkin aja, tapi kalo begini caranya, gue jadi males milih dia jadi presiden."
"Ah elu... lebay banget deh, lagian belum pasti juga Jokowi mau nyalon jadi presiden."
"Naif banget sih elu jadi orang, sebagai politisi, mana mungkin Jokowi menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Elektabilitas yang tinggi tentu modal yang enggak akan disia-siakan oleh siapa pun, termasuk Jokowi."
"Mungkin lu kelewat tadi pas Jokowi nongol di TV. Lagian, siapa tahu stasiun yang sedang lu tonton udah meliputnya tadi."
"Gue udah mantengin dari tadi, kagak ada tuh Jokowi."
"Lu kagak pindah-pindah channel lain?"
"Kagak, dari pagi tadi gue manteng TV One."
Sambil menyeruput kopi dan mengudap bakwan goreng, keduanya masih terus mengobrol soal hujan dan Gubernur DKI yang biasa disapa Jokowi itu.
"Eh, coba deh lu ganti channel tevenya, siapa tahu dia nongol di sana," pinta Joni.
"Apa hubungannya, ya sama aja. Bukannya selama ini berita di TV, koran, online, juga seragam?"
"Coba aja deh."
Lantaran penasaran, mau juga Banu menuruti permintaan si Joni. Saat pindah ke saluran SCTV, di sana muncul Jokowi. Pada siaran Liputan 6 SCTV, Jokowi mengunjungi Jalan TB Simatupang yang ambles. Beberapa saat kemudian, masih di saluran yang sama, Jokowi memanggul beras di daerah Rawa Buaya untuk 200 warga yang mengungsi.
"Tuh kan, ada. Itu artinya Jokowi enggak hilang."
"Coba TV lainnya...."
Setelah menunggu beberapa saat, Jokowi juga muncul di stasiun TV lain.
Di sana ada liputan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sedang meninjau Kali Cipinang yang meluap hingga merendam lima RT di Kampung Makasar, Jakarta Timur. Ketinggian air diwartakan mencapai pinggang orang dewasa atau sekitar 80 cm.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pada siang ini (18/1/2014) blusukan menyusuri Jalan Boulevard Raya Barat, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Bukan dengan perahu karet, melainkan menggunakan mobil dinasnya menerobos banjir setinggi sekitar 50-60 sentimeter.
Didampingi Wali Kota Jakarta Timur Krisdianto, pria yang akrab disapa Jokowi itu memantau kondisi air Kali Cipinang yang mengalir cukup deras hingga ke permukiman warga.
"Bujug, kenapa di TV One kagak ada yak?"
"Kru TV One lagi sibuk kali...."
"Bisa jadi, tapi bisa jadi ada apa-apanya antara TV One sama Jokowi..."
"Ya biarin, mau ada masalah di antara mereka, emang masalah buat lu?"
"Jelas masalah dong, itu berarti kagak profesional. Pan, tugas media harus obyektif, enggak boleh berpihak. Apa yang dia lakukan sampai saat ini juga masih terus jadi santapan hangat para wartawan, sehingga membuatnya jadi media darling."
"Pinter juga lu."
"Pan, lu yang ngajarin, he-he-he..." timpal Banu.
"Emang sih, kalau diperhatikan, sejak kena semprot Jokowi dan Wagub Ahok, 'ntu stasiun TV jadi terasa berseberangan sama Jokowi," ujar Joni.
"Wah, masa segitunya. Bukannya awak media biasanya sudah terlatih mentalnya untuk menghadapi narasumber macam apa pun?"
"Itu dia. Lu masih ingat enggak? TV One juga pernah 'menyerang' Jokowi saat gubernur itu memprotes mobil murah. TV One balik menayangkan gambar saat Jokowi masih jadi Wali Kota Solo yang sedang memamerkan mobil bikinan, ESEMKA, yang disebutnya mobil murah."
"Iya, gue inget. TV One seperti hendak mempertentangkan kebijakan pemerintah pusat dengan mobil murah versi Jokowi lewat mobil ESEMKA."
"Hmmm.. ada apa ya sebenarnya? Menurut lu, itu disengaja atau enggak?"
"Kalau gue bilang enggak sengaja, rasanya mustahil lembaga sebesar TV One melakukan tindakan yang tanpa rencana. Kalau gue bilang faktor kesengajaan, rasanya kok janggal juga ya kalau media sudah bertindak tidak obyektif?"
"Kenapa heran? Kan TV One juga milik orang politik, bos partai politik malah. Nyalon jadi presiden pula."
"Terus...."
"Ya mendingan buat menayangkan si bos itulah biar popularitasnya tambah melejit."
"Bener juga lu."
"Kepengin tahu kabar terakhir tentang si bos itu?"
"Apa kabarnya?"
Joni pun menuturkan tentang kabar dari sebuah situs online yang mengutip hasil survei Alvara Research Center yang merilis hasil survei tentang popularitas dan elektabilitas calon presiden yang diselenggarakan akhir tahun lalu, tepatnya 28 Oktober 2013. Hasilnya, Aburizal Bakrie disebut lebih populer dibanding Joko Widodo. Golkar menyebut hal itu wajar.
"Ya populer karena setiap hari kita melakukan serangan udara (iklan) yang masif yang menyebabkan populer dan sangat masuk akal. Kalau enggak populer itu juga kelewatan," kata Wasekjen Partai Golkar Nurul Arifin seusai berdiskusi di Fx Sudirman, Jakpus, kala itu.
Berikut adalah urutan capres paling populer versi Alvara Research Center:
1. Ical: 78,4 persen
2. Jokowi: 76,0 persen
3. Prabowo: 66,3 persen
4. Wiranto: 62,5 persen
5. Megawati: 62,4 persen
6. Jusuf Kalla: 52,4 persen
7. Dahlan Iskan: 36,3 persen
8. Surya Paloh: 32,7 persen
9. Hatta Rajasa: 28,9 persen
10. Mahfud MD: 24,1 persen
11. Rhoma Irama: 20,8 persen
12. Marzuki Alie: 10,6 persen
13. Lainnya: 49,3 persen
"Hmm... Mujarab bener ya yang namanya media. Tiap hari pemirsa diberondong sama iklan si bos partai, lama-lama terkenal juga tuh si bos," Banu ngedumel.
"Gratis pula."
"Kok gratis?"
"Lah, TV milik sendiri, he-he-he..."
"Tapi itu kan melanggar undang-undang penyiaran," kata Banu.
"Sok tahu lu."
"Ah elo, makanya baca dong berita," ucap Banu seraya menyitir sebuah berita yang menuliskan bahwa organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa yang tergabung dalam Frekuensi Milik Publik (FMP) telah mengeluarkan petisi yang sudah ditandatangani secara online oleh lebih dari 3.500 orang melalui www.change.org. Petisi ini menuntut KPI agar berani menindak stasiun televisi yang menyalahgunakan frekuensi publik untuk kepentingan politik pemiliknya.
Juru bicara FMP, Roy Thaniago, mengatakan, aksi itu dilatarbelakangi sikap KPI yang absen dalam membela kepentingan publik. Padahal, penyalahgunaan frekuensi yang kian marak terjadi di televisi dalam bentuk iklan, berita, atau program hiburan, baik secara terang-terangan maupun terselubung.
Roy mencontohkan, Aburizal Bakrie dan Partai Golkar di TV One dan ANTV; Surya Paloh dan Partai Nasdem di Metro TV; serta Wiranto dan Hary Tanoe dari Partai Hanura di RCTI, MNC TV, dan Global TV. Bahkan TVRI yang notabene merupakan TV publik juga pernah menjadi etalase beberapa partai politik, seperti Demokrat, PAN, dan Golkar, tutur Roy Thaniago dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Rabu (15/1/2014).
FMP berpendapat, sikap KPI yang bergeming terhadap penyalahgunaan frekuensi televisi itu menjadi ancaman utama bagi keberlanjutan demokrasi di Indonesia. Pasalnya, publik hanya akan mendapatkan informasi yang berat sebelah. Menurut Roy, media yang tidak independen sebenarnya tidak hanya merusak dirinya sendiri, tetapi juga merusak akal sehat dalam kehidupan negara demokrasi. Alih-alih mendewasakan pendidikan politik warga, stasiun televisi macam demikian justru menjadi mesin penghancur kewarasan logika publik, ujarnya.
Ia mengakui, KPI pernah menindak stasiun televisi yang dieksploitasi oleh pemiliknya beberapa kali. Namun, tindakannya hanya berupa teguran lisan, undangan klarifikasi, dan hal lainnya yang lebih menyerupai basa-basi. Padahal, keresahan publik butuh diredam dengan sikap KPI yang lebih tegas dan berani menindak para perampas hak publik.
Ia mengungkapkan, KPI bisa menggunakan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 dan Pedoman Perilaku Penyiaran-Standar Program Siaran (P3SPS) yang menyatakan bahwa lembaga penyiaran yang menggunakan frekuensi publik tidak boleh digunakan untuk kepentingan sektarian. Juga Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) mengenai aturan kampanye yang hanya dibolehkan pada 21 hari sebelum masa tenang dan pembatasan jumlah iklan kampanye politik per hari.
Seusai banjir Jakarta
Sudah lebih dari dua pekan banjir "menggerus" Jakarta dan sekitarnya serta wilayah lainnya di negeri ini. Barangkali lantaran telah dekat dengan pemilu pada April mendatang sehingga banjir dijadikan ajang politik orang-orang atau partai tertentu. Ada yang menjadikan banjir untuk mengangkat nama dengan kemasan sumbangan kepada para korban banjir, atau juga sebagai alat untuk menohok lawan politik.
Moga-moga banjir segera berhenti, dan semua orang bisa segera beraktivitas dengan normal kembali. Moga-moga banjir kali ini bukanlah bagian dari kisah mitologi tentang banjir besar yang dikirimkan oleh Tuhan untuk menghancurkan suatu peradaban sebagai pembalasan agung untuk membersihkan angkara murka dengan air bah.
Tetapi setidaknya, lewat banjir ini kita jadi lebih ingat tentang bagaimana hidup yang baik, hidup yang saling menghargai, saling menghormati, dan saling mengingatkan untuk menjaga dan memelihara sungai-sungai kita mengalir dengan baik, serta dijauhkan dari ketamakan agar tak lagi membabati hutan-hutan di hulu untuk dijadikan ajang bermegah-megah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar