Tidak dapat diragukan lagi bahwa Joko Widodo atau yang lebih dikenal dengan nama julukan JOKOWI merupakan sosok yang saat ini cukup fenomenal di Indonesia. Jokowi adalah mantan Walikota Surakarta ini telah menjadi buah bibir di tengah-tengah masyarakat luas, semenjak dirinya mempopulerkan mobil SMK beberapa saat yang lalu.
Jokowi yang lahir di Surakarta pada 21 Juni 1961 ini semakin menjadi perbincangan masyarakat ketika secara resmi mencalonkan diri sebagai calon Gubernur untuk DKI Jakarta yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Pembangunan (PDI-P) yang berkolaborasi dengan Partai Gerindra.
Dalam pencalonan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama yang juga sering dijuluki sebagai Ahok.
Sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sebenarnya sudah lebih duluan populer dimata masyarakat Solo. Terbukti selama 2 priode terakhir menjabat sebagai Walikota di Surakarta, Jokowi telah mampu melakukan perubahan yang sangat pesat di kota ini. Dibawah kepemimpinan Jokowi, Kota Solo telah menjadi branding dengan slogan Kota, yaitu "Solo: The Spirit of Java".
WARTA Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
Tarik ulur dalam pengesahan skema anggaran Provinsi DKI Jakarta 2013 masih terus berlanjut. Terakhir, rapat pembahasan anggaran diwarnai aksi walk out sejumlah anggota dewan dari beberapa fraksi. Rapat pun buntu, waktu pengesahan terancam kembali molor.
Menanggapi itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama enggan bersikap reaktif. Menurutnya semua terjadi karena belum tercapainya kesepahaman antara eksekutif dan legislatif.
"Fraksi apa yang masih menolak? Saya pikir semua akan ngerti. Kan cuma salah paham saja, semua bisa dijelaskan," kata Basuki, di Balaikota Jakarta, Jumat (7/12/2012) pagi.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mematok target untuk menandatangani Kebijakan Umum Anggaran (KUA) serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) pada hari ini. Namun rencana itu kemungkinan akan batal lantaran pihak legislatif masih terpecah dua.
Meski mayoritas anggota dewan menyetujui KUA-PPAS untuk segera disahkan, namun masih ada segelintir anggota dewan dari fraksi tertentu yang menolak, bahkan dinilai sengaja menghambat rencana pengesahannya. Padahal, tahun 2012 hampir mencapai ujungnya. Dan batas akhir pengesahan jatuh di 20 Desember 2012.
Pengamat memprediksi, terlambatnya waktu pengesahan akan merugikan DKI Jakarta. Sebab, sesuai Undang-Undang, Pemprov DKI terancam mendapat alokasi dana sesuai dengan APBD 2012. Padahal pucuk kepemimpinan telah berganti, dengan program dan kebutuhan anggaran yang berbeda dari tahun sebelumnya.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) saat menerima warga Kampung Baru, Muara Angke di Gedung Balai Kota, Jakarta Pusat, Kamis (1/11/2012).
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo diminta menjalin kesepahaman dengan pihak legislatif dalam hal penyusunan anggaran 2013. Menurut Irman, kesepahaman dalam penyusunan dan pengesahan anggaran antara eksekutif dan legislatif harus terjalin dengan baik. Sebab, bagaimanapun juga, DPRD merupakan representasi rakyat yang mengawal eksekutif dalam mengeksekusi seluruh program-programnya.
"Kesepahaman bukan hanya dari DPRD, melainkan juga Jokowi. Jangan merasa menang pilkada dan mengajukan anggaran semaunya," kata pakar tata negara, Andi Irman Putra Sidin, kepada Kompas.com, Kamis (6/12/2012).
Seperti diberitakan, sampai di pengujung tahun ini, pengesahan APBD DKI 2013 masih sebatas wacana meski di lain sisi Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama optimistis Rancangan APBD dapat segera disampaikan pada Menteri Dalam Negeri sekitar 28 Desember. Namun, hal itu masih belum dapat dipastikan. Pasalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tak juga mendapat restu dari pihak legislatif.
Kebijakan Umum Anggaran (KUA) serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang disusun dinilai belum jelas oleh DPRD. Basuki juga sempat menyampaikan harapannya agar KUA-PPAS dapat ditandatangani pada 7 Desember 2012 agar lekas dibahas bersama DPRD. Namun, di luar itu, DPRD DKI masuk masa reses mulai 6 Desember sampai 13 Desember.
Jika sesuai jadwal, pembahasan KUA-PPAS akan dilakukan mulai 14 Desember untuk dapat disahkan pada 20 Desember dengan catatan tak ada lagi ganjalan dari legislatif yang memicu waktu pengesahan kembali tersendat.
Dari penelusuran Kompas.com, bergulir isu molornya waktu pengesahan KUA-PPAS disebabkan ada sejumlah program yang menuai tarik ulur, seperti program melanjutkan angkutan massal berbasis rel (mass rapid transit/MRT), atau pembangunan enam ruas jalan tol baru. Di luar itu, salah satu fraksi di DPRD masih kukuh menolak KUA-PPAS yang dirancang oleh eksekutif.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo rupanya akan terus mengusahakan agar pengembalian pinjaman oleh Pemerintah Pusat untuk megaproyek transportasi massal berbasis rel atau Mass Rapid Transit (MRT) kepada pihak pemberi pinjaman, Japan International Cooperation Agency (JICA) lebih besar jika dibandingkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI.
Selama ini, perbandingan pengembalian pinjaman kepada JICA itu telah disepakati 42:58, yang berarti sebesar 42 persen ditanggung pemerintah pusat dan 58 persen ditanggung Pemprov DKI.
Jokowi menawarkan kepada Kementerian Keuangan, perbandingan sebesar 70:30. Jadi, Pemprov DKI hanya menanggung 30 persen dari total pinjaman kepada JICA.
Namun, nampaknya upaya negosiasi tersebut tidak berjalan lancar. Karena, hingga saat ini, Pemerintah pusat masih belum dapat menyanggupi usulan Jokowi tersebut.
"Yah memang sulit. Saya juga mengerti sulit memang," kata Jokowi, di Balaikota Jakarta, Rabu (5/12/2012) malam.
Jokowi masih tetap mengupayakan agar besaran angka yang ia usulkan dapat diterima oleh pemerintah pusat. Apabila situasi terburuk yang ia terima, Jokowi masih dapat menego besaran angka yang ia usulkan, namun tetap pemerintah pusatlah yang harus lebih tinggi bebannya dibanding Pemprov DKI.
"Iya dong, yah kalo enggak 70:30 iya paling mentok-mentoknya dibalik. Sekarang kan 42:58, dibalik jadi 58:42. Enak toh, saya kan orangnya enak," tuturnya.
Oleh karena itu, kata Jokowi, ia telah diajak oleh Menko Perekonomian, Hatta Rajasa untuk membicarakan renegosiasi tersebut dalam sebuah forum yang turut mengundang pihak Pemprov DKI, Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, dan Kepala Bappenas.
"Nanti mau diundang ke Pak Menko untuk berbicara ini. Supaya dari awal sampai akhir, akhirnya semua bisa diceritakan secara jelas dan gamblang," kata Jokowi.
Pertemuan itupun direncanakan akan digelar sekitar dua sampai tiga hari mendatang. Jokowi pun mengapresiasi ide tersebut, karena akan memudahkannya untuk lebih memahami dan memutuskan keberlanjutan megaproyek tersebut.
"Kalau ketemu satu-satu mungkin putus-putus. Tapi kalau ketemu semuanya, cerita awal sampai akhir bisa ketemu nanti," ujarnya.
Dalam upaya renegosiasi itu, kemarin Jokowi telah menyambangi Kantor Kementerian Keuangan untuk dapat bertemu dengan Menteri Keuangan, Agus Martowardojo. Namun, dari pertemuan tertutup yang berlangsung sekitar 90 menit itu tak menghasilkan titik terang terkait nasib keberlanjutan proyek transportasi massal berbasis rel atau Mass Rapid Transit (MRT).
Jokowi menilai komposisi awal pembagian pengembalian pinjaman kepada JICA sebesar 42:58 terlalu memberatkan Pemprov DKI. Oleh karena itu, menurut Jokowi, porsi pemerintah pusat seharusnya lebih besar dibanding Pemprov DKI.
Dengan begitu, diharapkan akan disepakati pula besarnya subsidi dan harga tiket yang lebih rendah dari sebelumnya. Jokowi menghitung harga tiket yang akan ditanggung tiap penumpang akan mencapai Rp 38.000 untuk sekali jalan. Harga tiket itu dinilai tidak feasible mengingat di negara lain saja harga tiketnya hanya sekitar 1 dollar AS atau sekitar Rp 10.000.
Permasalahan harga tiket itu pula yang membuat Jokowi mengusulkan supaya porsi investasi tersebut diubah menjadi 70:30.
"Menyangkut harga tiket. Kalau pakai sekarang ketemu harganya Rp 38.000. Kalau mau Rp 10.000, maka Rp 28.000 disubsidi. Kan berat," katanya.
Dengan melihat nilai investasi dan proyek yang besar itulah, Jokowi sangat berhati-hati sebelum memutuskan apakah akan melanjutkan proyek ini atau tidak.
Jokowi yang baru lima pekan menjabat sebagai orang nomor satu di kalangan pemerintah Provinsi Jakarta tidak ingin diburu-buru untuk menentukan keputusan ini. Ia menegaskan akan melakukan kalkulasi secara cermat karena hal itu menyangkut uang rakyat.
Dalam perjanjian pinjaman (loan agreement), tercantum bahwa jika pembangunan MRT terlambat dan tidak sesuai dengan jadwal, akan dikenakan kewajiban membayar bunga sebesar Rp 800 juta per hari. Bunga itu selanjutnya menjadi beban Pemprov DKI dan juga pemerintah pusat.
Begitu juga jika Jokowi akhirnya memutuskan untuk membatalkan pelaksanaan pembangunan MRT dengan alasan biaya yang terlalu mahal, konsekuensi moral dan nama baik DKI Jakarta serta Indonesia di iklim investasi internasional akan tercemar karena dana pinjaman untuk proyek MRT hanya dibebankan bunga kecil, yakni 0,25 persen berikut jangka waktu pengembalian pinjaman selama 30 tahun.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat
memberikan paparan dalam seminar pencegahan korupsi di wilayah
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Rabu (28/11/2012), di Balaikota
Jakarta.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama geleng-geleng kepala dengan paparan Dinas Pelayanan Pajak. Untuk sistem online penarikan pajak yang ditenderkan, Pemprov DKI malah bisa harus membayar sekitar Rp 8 triliun per tahunnya.
Dalam rapat dengan Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta pada Jumat,
30 November 2012, kemarin, Basuki ingin omset pajak tahun 2013 sudah
diketahui. Sebab, selama ini banyak wajib pajak yang bermasalah, namun
penyelesaiannya pun tidak jelas.
Kemudian, Basuki menanyakan
kepada Kepala DPP DKI jumlah wajib pajak dari hotel dan restoran.
Menurut data, tercatat ada 1.501 hotel dan kos-kosan, serta 8.000 restoran yang merupakan wajib pajak.
"Semua data ini saya minta, alamatnya pemiliknya, teleponnya saya minta. Kasih soft copy. Kita secara acak akan telepon mereka," kata Basuki, seperti dalam video yang diunggah PemprovDKI di Youtube berjudul "30 Nov 2012 Wagub Bpk. Basuki T. Purnama menerima paparan Dinas Pelayanan Pajak".
"Jadi begini, Pak. Kalau Bapak tidak bisa selesaikan, saya bisa
selesaikan sendiri dengan orang bank. Saya punya orang, bisa saya suruh
tongkrongin, bisa datang sendiri datanya. Hotel A dapat berapa, nanti
saya bicara ke pengusaha yang punya. Kalau dia enggak mau bayar pajak
dengan betul, kita tutup usahanya. Kalau dia tidak mau bayar pajak, saya
akan bilang bahwa kamu telah mencuri sekian persen," tutur Basuki
kepada Kepala DPP DKI Iwan Setiawandi.
Menurut Basuki,
sebenarnya mudah untuk mengetahui omset hotel dan restoran per bulannya.
Salah satunya bekerja sama dengan bank-bank, seperti BRI, BCA dan
Mandiri. Dia yakin, setiap perusahaan itu memiliki rekening bank.
Dari situ, kata dia, bisa ketahuan omset pajaknya dengan mengkali 10
persen dari total pendapatan. Sehingga, Dinas Pelayanan Pajak DKI tidak
perlu mentenderkan sistem online yang bisa menghabiskan anggaran Rp 8 triliun per tahun.
"Untuk mengetahui omset, paksa mereka, uang-uang masuk mereka langsung disetor ke bank," kata Basuki.
"Nah, nanti kita lihat di bank, Mandiri, BRI, BCA, kalau wajib pajak
ini sering rusak transaksinya karena dia mati hidup mati hidup mesinnya,
ketahuan, kita cabut izinnya. Kita enggak mau tahu," ujarnya lagi.
Menurut Basuki, jika menggunakan sistem online
yang ditenderkan oleh DPP, Pemprov DKI harus membayar orang tujuh
hingga delapan triliun rupiah hanya untuk menarik pajak wajib pajak.
Padahal, dengan sistem kerjasama dengan bank, DPP tidak mengeluarkan
uang sepersen pun.
"Ini tidak bisa sistem ini, sasaran online Bapak. Saya kira dengan sistem online bapak kita jadi hemat, tapi kita dirampok, Pak. Bayangkan kalau semua online,
kita bayar orang itu Rp 8 triliun per tahun. Bapak bisa katakan, tapi
dapatnya banyak, Pak. Betul, tapi saya mau dengan dapat banyak kita
tidak keluar satu sen pun," tutur Basuki.
Dia mengatakan, DPP bisa memanfaatkan pegawainya untuk menarik pajak dengan tambahan bonus.
Basuki (BTP): Berapa orang di kantor, Bapak?
Kepala Dinas Pelayanan Pajak (DPP): 930, Pak.
BTP:
Seribu orang saja, dikasih hadiah bonus Rp 10 juta, dapat Rp 10 miliar
satu bulan. Rp 12 miliar setahun. Buat apa saya kasih orang Rp 8 triliun
ke orang. Rugi kan? Ini di luar gaji, Bapak. Itu sepuluh juta, kurang..
kasih Rp 20 juta. Saya yakin orang pada mau pindah ke pajak semua.
Dikasih Rp 30 juta masih Rp 360 miliar, murah bener (dibanding bayar
orang Rp 8 triliun per tahun).